Makalah Ilmu Qira'at (Ulumul Qur'an)
Salah satu contoh Makalah mata kuliah Ulumul Qur'an pada Materi Ilmu Qira'at
BAB I
BAB
II
BAB III
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Qiraat
merupakan salah satu cabang ilmu dalam ‘Ulum al-Qur’an, namun tidak banyak
orang yang tertarik kepadanya, kecuali orang-orang tertentu saja, biasanya
kalangan akademik. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu, di antaranya adalah, ilmu ini tidak
berhubungan langsung dengan kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari; tidak
seperti ilmu fiqih, hadis, dan tafsir misalnya,yang dapat dikatakan berhubungan
langsung dengan kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan ilmu qira’at tidak
mempelajari masalah-masalah yang berkaitan secara langsung dengan halal-haram
atau hukum-hukum tertentu dalam kehidupan manusia.
Selain
itu, ilmu ini juga cukup rumit untuk dipelajari, banyak hal yang harus
diketahui oleh peminat ilmu qira’at ini, yang terpenting adalah pengenalan
al-Qur’an secara mendalam dalam banyak seginya, bahkan hafal sebagian besar
dari ayat-ayat al-Qur’an merupakan salah satu kunci memasuki gerbang ilmu ini;
pengetahuan bahasa Arab yang mendalam dan luas dalam berbagai seginya, juga
merupakan alat pokok dalam menggeluti ilmu ini, pengenalan berbagai macam
qiraat dan para perawinya adalah hal yang mutlak bagi pengkaji ilmu ini. Hal-hal
inilah barangkali yang menjadikan ilmu ini tidak begitu populer.
Meskipun
demikian keadaannya, ilmu ini telah sangat berjasa dalam menggali, menjaga dan
mengajarkan berbagai “cara membaca” al-Qur’an yang benar sesuai dengan yang
telah diajarkan Rasulullah SAW. Para ahli qiraat telah mencurahkan segala kemampuannya demi
mengembangkan ilmu ini. Ketelitian dan kehati-hatian mereka telah menjadikan
al-Qur’an terjaga dari adanya kemungkinan penyelewengan dan masuknya
unsur-unsur asing yang dapat merusak kemurnian al-Qur’an. Oleh karena itu
diperlukan pemahaman dan pengetahuan mengenai ilmu qira’at agar kita dapat
mengetahui pengertian qira’at serta pengaruhnya terhadap istinbath hukum dalam
Alquran.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas maka rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut :
- Apa pengertian Qira’at ?
- Bagaimana sejarah perkembangan Qira’at ?
- Apa saja macam – macam Qira’at ?
- Bagaimana metode penyampaian Qira’at ?
- Apa pengaruh Qira’at dalam mengistinbath hukum ?
1.3 Tujuan
- Memahami pengertian Qira’at
- Memahami sejarah perkembangan Qira’at
- Memahami macam macam Qira’at
- Memahami metode penyampaian Qira’at
- Memahami pengaruh Qira’at dalam mengistinbath hukum
1.4 Manfaat
Supaya kami semua dan para pembaca
memahami ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an dan dapat menerapkannya
dalam kajian al-Qur’an serta mampu mengenal dan menjelaskan Qira’at dalam
al-Qur’an.
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Qira’at
Menurut
bahasa, qira’at (قراءات)
adalah bentuk jamak dari qira’ah (قراءة)
yang merupakan isim masdar dari qaraa (قرأ),
yang artinya : bacaan. Pengertian qira’at
menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh keluasan makna
dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Berikut ini pengertian Qira’at
dari para ulama.
1. Secara
istilah, al – Zarqani mengemukakan definisi Qira’at sebagai berikut:
“Suatu mazhab yang dianut oleh
seorang imam qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan
Al-Qur’an al-Karim serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalur daripadanya,
baik perbedaan ini dalam pengucapan huruf-huruf maupun dalam pengucapan
keadaan-keadaannya.”
Definisi ini mengandung tiga unsur
pokok. Pertama, qira’at dimaksudkan menyangkut bacaan ayat-ayat Al-Qur’an. Cara
membaca Al-Qur’an berbeda dari satu imam dengan imam qira’ah lainnya.
Kedua, cara bacaan yang dianut dalam suatu mazhab qira’ah didasarkan
atas riwayat dan bukan atas qias atau ijtihad. Ketiga, perbedaan
antara qira’ah-qira’ah bisa terjadi dalam pengucapan huruf-huruf dan
pengucapannya dalam berbagai keadaan.
2. Menurut
al-Qasthalani :
“Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal
yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat,
hadzaf, I’rab, itsbat, fashl, dan washl yang kesemuanya diperoleh
secara periwayatan.”
3. Menurut
az-Zarkasyi :
“Qiraat adalah perbedaan cara
mengucapkan lafaz-lafaz al-Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara
pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil
(memberatkan), dan atau yang lainnya.”
4. Menurut Ibnu
al-Jazari :
“Qira’at adalah pengetahuan
tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan
membangsakaanya kepada penukilnya.”
Perbedaan cara
pendefenisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu
bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Qur’an walaupun sama-sama berasal dari
satu sumber, yaitu Muhammad.
Dengan demikian, dari
penjelasan-penjelasan di atas, maka ada tiga qira’at yang dapat
ditangkap dari definisi diatas, yaitu :
1. Qira’at berkaitan dengan cara penafalan
ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah seorang iman dan berbeda cara yang
dilakukan imam-imam lainnya.
2. Cara penafalan ayat-ayat Al-Qur’an itu
berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada Nabi. Jadi, bersifat tauqifi, bukan ijtihadi.
3. Ruang lingkup perbedaan qira’at
itu menyangkut persolan lughat, hadzaf,
4. I’rab, itsbat, fashl, dan washil.
2.2 Sejarah Perkembangan
Qira’at
Pembahasan tentang sejarah dan
perkembangan ilmu qira’at ini dimulai dengan adanya perbedaan pendapat
tentang waktu mulai diturunkannya
qira’at. Ada dua pendapat tentang hal ini :
Pertama, qira’at mulai diturunkan di
Makkah bersamaan dengan turunnya al-Qur’an. Alasannya adalah bahwa sebagian
besar surat-surat al-Qur’an adalah Makkiyah di mana terdapat juga di dalamnya
qira’at sebagaimana yang terdapat pada surat-surat Madaniyah. Hal ini
menunjukkan bahwa qira’at itu sudah mulai diturunkan sejak di Makkah.
Kedua, qira’at mulai diturunkan di
Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana orang-orang yang masuk Islam sudah
banyak dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya. Pendapat ini
dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya,
demikian juga Ibn Jarir al-Tabari dalam kitab tafsirnya. Hadis yang panjang
tersebut menunjukkan tentang waktu dibolehkannya membaca al-Qur’an dengan tujuh
huruf adalah sesudah Hijrah, sebab sumber air Bani Gaffar – yang disebutkan
dalam hadis tersebut--terletak di dekat kota Madinah.
Kuatnya pendapat yang kedua ini
tidak berarti menolak membaca surat-surat yang diturunkan di Makkah dalam tujuh
huruf, karena ada hadis yang menceritakan tentang adanya perselisihan dalam
bacaan surat al-Furqan yang termasuk dalam surat Makkiyah, jadi jelas bahwa
dalam surat-surat Makkiyah juga dalam tujuh huruf.
Ketika mushaf disalin pada masa
Usman bin Affan, tulisannya sengaja tidak diberi titik dan harakat, sehingga
kalimat-kalimatnya dapat menampung lebih dari satu qira’at yang berbeda. Jika
tidak bisa dicakup oleh satu kalimat, maka ditulis pada mushaf yang lain.
Demikian seterusnya, sehingga mushaf Usmani mencakup ahruf sab’ah dan berbagai
qira’at yang ada.
Periwayatan dan Talaqqi (si guru membaca
dan murid mengikuti bacaan tersebut) dari orang-orang yang tsiqoh dan dipercaya
merupakan kunci utama pengambilan qira’at al-Qur’an secara benar dan tepat
sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Para sahabat
berbeda-beda ketika menerima qira’at dari Rasulullah. Ketika Usman mengirimkan
mushaf-mushaf ke berbagai kota Islam, beliau menyertakan orang yang sesuai qiraatnya dengan mushaf
tersebut. Qira’at orang-orang ini berbeda-beda satu sama lain, sebagaimana
mereka mengambil qira’at dari sahabat
yang berbeda pula, sedangkan sahabat juga berbeda-beda dalam mengambil qira’at dari Rasulullah SAW.
Dapat disebutkan di sini para
Sahabat ahli qira’at, antara lain adalah : Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Ibn
Mas’ud, Abu al-Darda’, dan Abu Musa al-‘Asy’ari.
Para sahabat kemudian menyebar ke
seluruh pelosok negeri Islam dengan membawa qira’at masing-masing. Hal ini
menyebabkan berbeda-beda juga ketika Tabi’in mengambil qira’at dari para
Sahabat. Demikian halnya dengan Tabiut-tabi’in yang berbeda-beda dalam
mengambil qira’at dari para Tabi’in.
Ahli-ahli qira’at di kalangan
Tabi’in juga telah menyebar di berbagai kota. Para Tabi’in ahli qira’at yang
tinggal di Madinah antara lain : Ibn al-Musayyab, ‘Urwah, Salim, Umar bin Abdul
Aziz, Sulaiman dan’Ata’ (keduanya putra Yasar), Muadz bin Harits yang terkenal
dengan Mu’ad al-Qari’, Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, Ibn Syihab al-Zuhri,
Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslam.
Yang tinggal di Makkah, yaitu:
‘Ubaid bin’Umair, ‘Ata’ bin Abu Rabah, Tawus, Mujahid, ‘Ikrimah dan Ibn Abu
Malikah.
Tabi’in yang tinggal di Kufah, ialah
: ‘Alqamah, al-Aswad, Maruq, ‘Ubaidah, ‘Amr bin Surahbil, al-Haris bin
Qais,’Amr bin Maimun, Abu Abdurrahman al-Sulami, Said bin Jabir, al-Nakha’i dan
al-Sya'bi.
Sementara Tabi’in yang tinggal di
Basrah , adalah Abu ‘Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Asim, Yahya bin Ya’mar,
al-Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah.
Sedangkan
Tabi’in yang tinggal di Syam adalah : al-Mugirah bin Abu Syihab al-Makhzumi dan
Khalid bin Sa’d. Pada periode awal kaum muslimin memperoleh ayat-ayat al-Qur’an
langsung dari nabi saw, kepada para sahabat dan dari sahabat ini kemudian
kepada para tabi’in serta para imam-imam qiraat pada masa selanjutnya. Pada
masa Nabi saw, ayat-ayat ini diperoleh dari nabi dengan cara mendengarkan,
membaca lalu beberapa sahabat menghafalkannya. Sehingga pada periode ini
al-Qur’an belum dibukukan, pedoman dasar bacaan dan pelajarannya langsung bersumber
dari Nabi saw, serta para sahabat yang hafal al-Qur’an. Hal ini berlangsung
hingga masa para sahabat yang pada perkembangannya al-Qur’an dibukukan atas
dasar iktiar dari khalifah Abu Bakar dan inisiatif Umar bin Khattab.
Pada perkembangan berikutnya,
al-Qur’an justru tertata lebih rapih karena khalifah Usman berinisiatif untuk
menyalin mushaf dan dicetak lebih banyak untuk kemudian disebarkan kepada kaum
muslimin di berbagai kawasan. Langkah ini ditempuh oleh Utsman bin Affan karena
pada waktu itu terjadi perselisihan diantara sesama kaum muslimin tentang
perbedaan bacaan yang mereka terima, maka dengan dasar inilah diketahui sejarah
awal terjadinya perbedaat Qira’at yang kemudian dipadankan oleh Utsman bin
Affan dengan cara menyalin mushaf itu menjadi satu bentuk yang sama dan
mengirimnya ke berbagai daerah. Dengan cara seperti ini maka tidak aka nada
lagi perbedaan, karena seluruh mushaf yang ada di daerah-daerah kaum muslimin
semuanya sama, yaitu mushaf yang berasal dari khalifah Utsman bin Affan.
Setelah masa itu, maka muncullah para
qurra’ (para ahli dalam membaca al-Qur’an), merekalah yang menjadi panutan di
daerahnya masing-masing dan dari bacaan mereka dijadikan pedoman serta
cara-cara membaca al-Qur’an. Keadaan ini terus berlangsung sehingga muncul para
imam qiraat yang termasyhur, yang mengkhususkan diri dalam qira’at – qira’at
tertentu dan mengajarkan qira’at mereka masing-masing. Perkembangan selanjutnya
ditandai dengan munculnya masa pembukuan qira’at. Para ahli sejarah menyebutkan
bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira’at adalah Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam yang
wafat pada tahun 224 H. Ia menulis kitab yang diberi nama al-Qira’at yang
menghimpun qiraat dari 25 orang perawi. Pendapat lain menyatakan bahwa orang
yang pertama kali menuliskan ilmu qiraat adalah Husain bin Usman bin Tsabit
al-Baghdadi al-Dharir yang wafat pada tahun 378 H. Dengan demikian mulai saat itu qira’at
menjadi ilmu tersendiri dalam ‘Ulum al-Qur’an.
Menurut Sya’ban Muhammad Ismail,
kedua pendapat itu dapat dikompromikan. Orang yang pertama kali menulis masalah
qiraat dalam bentuk prosa adalah al-Qasim bin Salam, dan orang yang pertama
kali menullis tentang qira’at sab’ah dalam bentuk puisi adalah Husain bin Usman
al-Baghdadi. Pada penghujung Abad ke III Hijriyah, Ibn Mujahid menyusun qira’at
Sab’ah dalam kitabnya Kitab al-Sab’ah. Dia hanya memasukkan para imam qiraat
yang terkenal siqat dan amanah serta panjang pengabdiannya dalam mengajarkan
al-Qur’an, yang berjumlah tujuh orang. Tentunya masih banyak imam qira’at yanng
lain yang dapat dimasukkan dalam kitabnya. Ibn Mujahid menamakan kitabnya
dengan Kitab al-Sab’ah hanyalah secara kebetulan, tanpa ada maksud tertentu.
Setelah munculnya kitab ini, orang-orang awam menyangka bahwa yang dimaksud
dengan ahruf sab’ah adalah qira’at
sab’ah oleh Ibn Mujahid ini. Padahal masih banyak lagi imam qira’at lain yang
kadar kemampuannya setara dengan tujuh
imam qira’at dalam kitab Ibn Mujahid
Abu al-Abbas bin Ammar mengecam Ibnu
Mujahid karena telah mengumpulkan qira’at sab’ah. Menurutnya Ibn Mujahid telah
melakukan hal yang tidak selayaknya dilakukan, yang mengaburkan pengertian
orang awam bahwa Qiraat Sab’ah itu adalah ahruf sab’ah seperti dalam hadis Nabi
itu. Dia juga menyatakan, tentunya akan lebih baik jika Ibnu Mujahid mau
mengurangi atau menambah jumlahnya dari tujuh, agar tidak terjadi syubhat. Banyak
sekali kitab-kitab qiraat yang ditulis para ulama setelah Kitab Sab’ah ini.
Yang paling terkenal diantaranya adalah :
al-Taysir fi al-Qiraat al-Sab’i yang diisusun oleh Abu Amr al-Dani,
Matan al-Syatibiyah fi Qira’at al-Sab’i karya Imam al-Syatibi, al-Nasyr fi
Qira’at al-‘Asyr karya Ibn al-Jazari dan Itaf Fudala’ al-Basyar fi al-Qira’at
al-Arba’ah ‘Asyara karya Imam al-Dimyati al-Banna.
2.3 Macam Macam
Qira’at
Macam-macam qiraat dilihat dari segi
kuantitas :
1. Qiraah
sab’ah (qiraah tujuh)
Kata sab’ah artinya adalah imam-imam
qiraat yang tujuh. Mereka itu adalah : Abdullah bin Katsir ad-Dari (w. 120 H),
Nafi bin Abdurrahman bin Abu Naim (w. 169 H), Abdullahal-Yashibi (q. 118 H),
Abu ‘Amar (w. 154 H), Ya’qub (w. 205 H), Hamzah (w. 188 H), Ashim ibnu Abi
al-Najub al-Asadi.
2. Qiraat
Asyrah (qiraat sepuluh)
Yang dimaksud qiraat sepuluh adalah
qiraat tujuh yang telah disebutkan di atas ditambah tiga qiraat sebagai berikut
: Abu Ja’far. Nama lengkapnya Yazid bin al-Qa’qa al-Makhzumi al-Madani. Ya’qub
(117 – 205 H) lengkapnya Ya’qub bin Ishaq bin Yazid bin Abdullah bin Abu Ishaq
al-Hadrani, Khallaf bin Hisyam (w. 229 H)
3. Qiraat
Arba’at Asyarh (qiraat empat belas)
Yang dimaksud qiraat empat belas
adalah qiraat sepuluh sebagaimana yang telah disebutkan di atas ditambah dengan
empat qiraat lagi, yakni : al-Hasan al-Bashri (w. 110 H), Muhammad bin
Abdurrahman (w. 23 H), Yahya bin al-Mubarak al-Yazidi and-Nahwi al-Baghdadi (w.
202 H), Abu al-Fajr Muhammad bin Ahmad asy-Syambudz (w. 388 H).
Macam-macam
qiraat dilihat dari segi kualitas :
Dinukilkan oleh as-Sayuthy dari Imam
Al-Jaziri mengelompokkan Qira’ah dalam enam macam dari segi sanad, yaitu:
1. Mutawatir,
yaitu Qira’at yang dinukil oleh sejumlah orang yang tidak mungkin bersepakat
dalam kedustaan dari orang-orang yang seperti mereka hingga ke akhir sanad, dan
ini yang dominan di dalam Qira’at.
2. Masyhur,
yaitu yang sanadnya shahih namun tidak sampai ke tingkatan Mutawatir, sesuai
dengan kaidah bahasa Arab dan rasm, terkenal di kalangan para Imam Qurra’, dan
mereka tidak menganggapnya keliru atau ganjil. Dan para Ulama menyebutkan bahwa
Qira’at jenis ini boleh diamalkan bacaannya.
3. Ahad, yaitu
yang sanadnya shahih, namun menyelisihi rasm atau menyelisihi kaidah bahasa
Arab, atau tidak terkenal sebagaimana terkenalnya Qira’at yang telah disebutkan.
Dan yang ini tidak diamalkan bacaannya. Dan di antara contohnya adalah yang
diriwayatkan oleh Imam al-Hakim rahimahullah dari Abu Bakrah radhiyallahu
‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca:
متكئينعلىرفارفخضروعباقريحسان
Qira’at di atas
dalam mushaf dibaca:
مُتَّكِئِينَعَلَىرَفْرَفٍخُضْرٍوَعَبْقَرِيٍّحِسَانٍ
”Mereka
bertelekan pada bantal-bantal yang hijau dan permadani yang indah.” (QS.
Ar-Rahman: 76)
Dan juga yang
diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau membaca:
(surat At-Taubah ayat 128)
لَقَدْجَآءَكُمْرَسُولٌمِّنْأَنْفَسِكُمْ…
Dengan
menfathahkan huruf Fa’ dalam مِّنْأَنْفَسِكُمْ (padahal di Qira’at yang lain dengan menkasrahkan Fa’)
4. Syadz, yaitu
yang tidak shahih sanadnya. Seperti Qira’at:
مَلَكَيَوْمَالدِّينِ {4}
Dengan kata
kerja bentuk lampau, yaitu مَلَكَ
(malaka) dan mem-fathah-kan kata يَوْمَ
(di Qira’at yang benar dengan meng-kasrah-kannya).
5.Maudhu’, atau
palsu yaitu yang tidak ada asal-usulnya. Seperti Qira’ah innama yakhsyallahu
min ibadihil ulama-a dengan merafa’kan isim jalalah dan menashabkan lafadh
Al ‘Ulama.
6. Yang
menyerupai hadits mudraj (sisipan), yaitu yang disisipkan ke
dakam Qira’at ( yang shahih), sebagai tafsir, seperti : Qira’ah Sa’ad ibnu Abi
Waqqas yang menambah “min ummin” pada ayat “Walahu akhun au ukhtun”
hingga menjadi , “walahu akhun au ukhtun min ummin”.
Jumhur ulama berpendapat bahwa
Qira’at Sab’ah adalah Mutawatir, dan selain yang Mutawatir dan Masyhur maka
tidak boleh membaca dengannya, baik dalam shalat maupun di luar shalat. Imam
an-Nawawi rahimahumullah berkata dalam Syarh al-Muhadzadzab:”Tidak boleh
membaca dengan Qira’at Syadz di dalam shalat mapupun di luar shalat, karena ia
bukan al-Qur’an. Karena al-Qur’an tidak ditetapkan kecuali dengan nukilan yang
Mutawatir, dan Qira’at Syadz tidak Mutawatir. Dan barang siapa yang berkata
dengan selain ini maka ia adalah orang yang keliru dan bodoh. Maka jika seseorang menyelisihi dan membaca dengan
Qira’at Syadz, maka Qira’atnya diingkari, baik di dalam shalat maupun di luar
shalat. Dan para ulama Baghdad telah sepakat bahwa barang siapa yang membaca
dengan Qira’at Syadz maka ia diminta bertaubat. Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah
menukil Ijma’ (kesepakatan) seluruh kaum Muslimin tentang tidak
diperbolehkannya membaca dengan Qira’at Syadz, dan juga tidak diperbolehkannya
shalat di belakang imam yang membaca Qira’at ini (Syadz).”
2.4 Metode
Penyampaian Qira’at
Menurut
Dr. Muhammad bin Alawi Al-Malik, bahwa di kalangan ahli hadits ada beberapa
periwayatan atau penyampaian qira’ah diantaranyaMendengar
langsung dari guru (al-Sima’)
- Membacakan teks atau hafalan didepan guru (al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh)
- Melalui ijazah dari guru kepada murid
- Guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang dikoreksinya untuk diriwayatkan (al-Munalah)
- Guru menuliskan sesuatu untuk diberikan kepada muridnya (Mukatabah)
- Wasiat dari guru kepada para murid-muridnya
- Pemberitahuan tentang qira’ah tertentu (al-I’lam)
- Hasil temuan (al-Wijadah)
Para imam qira’ah, baik salaf maupun
kholaf dalam meriayatkan lebih banyak menggunakan metode qira’ah ‘ala
as-Syaikh. Metode ini juga digunakan oleh Nabi saw. Ketika beliau menyodorkan
bacaan al-Qur’an di hadapan Jibril pada setiap bulan Ramadhan. Adapun metode
Al-Sima’ tidak digunakan oleh para imam qira’ah dengan beberapa alasan:
1. Karena yang
mendengar langsung dari Nabi hanyalah para sahabat. Sedang mayoritas para imam
qira’ah tidak pernah mendengarkan secara langsung dari Nabi saw.
2. Setiap murid
yang mendengar langsung dari gurunya tidak mampu secara persis meriayatkan apa
yang telah didapat dari gurunya. Sedang para sahabat dengan kualitas kefasihan
yang baik, mereka mampu menyampaikan al-Qur’an sama persis seperti yang mereka
dengarkan dari Nabi.
2.5 Pengaruh
Qira’at dalam Mengistinbath Hukum
Dalam hal istimbat hukum, qiraat
dapat membantu menetapkan hukum secara lebih jeli dan cermat. Perbedaan qiraat
al-Qur'an yang berkaitan dengan
substansi lafaz atau kalimat, adakalanya mempengaruhi makna dari lafaz tersebut adakalanya tidak. Dengan demikian,
maka perbedaan qiraat al-Qur'an adakalanya berpengaruh terhadap istimbat hukum
dan adakalanya tidak.
1. Perbedaan
qira’at yang berpengaruh terhadap istinbat Hukum
Qira’at shahihah (Mutawatir dan
Masyhur) bisa dijadikan sebagai tafsir dan penjelas serta dasar penetapan
hukum, misalnya qira’at membantu
penafsiran qira’at (لَامَسْتُمْ)
dalam menetapkan hal-hal yang membatalkan wudu seperti dalam Q.S Al-Nisa’
(4): 43 :
وَإِنْ كُنتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ
مِنْ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا
صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Terjemahnya:
"…..
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air
atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci): sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun".
Ada perbedaan cara membaca pada lafaz (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ). Ibn Katsir,
Nafi', 'Ashim, Abu 'Amer dan Ibn 'Amir, membaca (لَامَسْتُمْ
النِّسَاءَ), sedangkan Ham-zah dan al-Kisa'i, membaca (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ).
Para ulama berbeda pendapat tentang
makna dari qira’at (لَامَسْتُمْ),
ada tiga versi pendapat ulama mengenai makna (َامَسْتُمْ),
yaitu: bersetubuh, bersentuh, dan bersentuh serta bersetubuh.
Para ulama juga berbeda pendapat
tentang maksud dari (َامَسْتُمْ).
Ibn Abbas, al-Hasan, Mujahid, Qatadah dan Abu Hanifah berpendapat bahwa
maksudya adalah: bersetubuh. Sementara itu, Ibn Mas'ud, Ibn Abbas al-Nakha'i
dan Imam Syafi'i berpendapat, bahwa yang dimaksud adalah: bersentuh kulit baik
dalam bentuk persetubuhan atau dalam bentuk lainnya. Ada sebuah
pendapat yang menyatakan,
bahwa yang dimaksud
dengan (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ) adalah sekedar menyentuh perempuan.
Sedangkan maksud dari (امَسْتُمْ)
adalah berjima’ dengan perempuan. Sementara ada hadis shahih yang menceritakan
bahwa Nabi SAW pernah mencium istrinya sebelum berangkat sholat
tanpa berwudhu lagi. Jadi
yang dimaksud dengan kata (لَامَسْتُمْ
النِّسَاءَ) di sini adalah berjima’, bukan sekedar menyentuh
perempuan. Dari contoh di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa yang membatalkan
wudhu adalah berjima’, bukan sekedar bersentuhan dengan perempuan.
Pendapat lain menyatakan bahwa
pendapat yang kuat adalah yang berarti bersentuhan kulit. Pendapat ini
dikuatkan oleh al-Razi yang menyatakan bahwa kata al-lums (اللمس) dalam qira’at (لمستم),
makna hakikinya adalah menyentuh dengan tangan. Ia menegaskan bahwa bahwa pada
dasarnya suatu lafaz harus diartikan dengan pengertian hakikinya. Sementara
itu, kata al-mulamasat (الملامسات)
dalam qira’at (لمَسْتُمْ), makna hakikinya adalah saling
menyentuh, dan bukan berarti bersetubuh.
2.
Perbedaan Qiraat yang
Tidak Berpengaruh terhadap
Istinbat Hukum
Berikut ini adalah contoh dari
adanya perbedaan qira’at tetapi tidak berpengaruh terhadap istimbath hukum, yaitu pada Q.S. al-Ahzab
(33): 49.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمْ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ
طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ
عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Terjemahnya:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah
bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah, dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara sebaik-baiknya."
Ayat di atas menjelaskan, bahwa
seorang istri yanng diceraiakn oleh suaminya dalam keadaan belum disetubuhi,
maka tidak ada masa iddah baginya. Masa iddah adalah masa menunggu bagi seorang
wanita yang diceraikan suaminya, sebelum wanita tersebut dibolehkan kawin lagi
dengan laki-laki lain. Berkenaan dengan ayat di atas, Hamzah dan al-Kisa'I,
membacanya dengan (مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمآسُّوهُنَّ),
sementara Ibn Kasir, Abu 'Amer, Ibn 'Ashim, dan Nafi' membaca: (مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ). Perbedaan bacaan
tersebut tidak menimbulkan perbedaan maksud atau ketentuan hukum yang
terkandung di dalamnya.
3. Pemakaian
Qira’at Syaz dalam Istinbat Hukum
Tidak hanya qira’at mutawatir
dan masyhur yang dapat dipergunakan
untuk menggali hukum-hukum syar’iyah, bahkan qira’at Syaz juga boleh dipakai
untuk membantu menetapkan hukum syar’iyah. Hal itu dengan pertimbangan bahwa
qira’at Syaz itu sama kedudukannya dengan hadis Ahad (setingkat di bawah Mutawatir),
dan mengamalkan hadis Ahad adalah boleh. Ini merupakan pendapat Jumhur ulama. Ulama
mazhab Syafi’i tidak menerima dan tidak menjadikan Qiraat Syaz sebagai dasar penetapan hukum dengan
alasan bahwa Qiraat Syaz tidak termasuk al-Qur’an. Pendapat ini dibantah oleh
Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa dengan menolak Qira’at Syaz sebagai
al-Qur’an tidak berarti sekaligus menolak Qiraat Syaz sebagai Khabar (Hadis).
Jadi, paling tidak Qiraat Syaz tersebut merupakan Hadis Ahad.
Contoh penggunaan Qira’at Syaz
sebagai dasar hukum adalah sebagai berikut :
1. Memotong
tangan kanan pencuri, berdasarkan kepada qiraat Ibn Mas’ud dalam surat
al-Maidah ayat 38, yang berbunyi :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْمانيَهُمَا
Artinya:
Laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan kanan keduanya…..
Dalam Qiraat
yang shahihah ayat tersebut berbunyi :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
2. Mazhab
Hanafi mewajibkan puasa tiga hari berturut-turut sebagai kafarah sumpah, juga
berdasarkan kepada qiraat Ibn Mas’ud dalam surat al-Maidah ayat 89, yang
berbunyi:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ متتلبعات
Artinya :
……….
Barangsiapa tidak sanggup melakukan demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari berturut-turut ….
Dalam
qira’at yang shahihah ayat tersebut berbunyi :
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
Sya’ban Muhammad Ismail, mengutip
pernyataan Abu ‘Ubaid, menyatakan bahwa tujuan sebenarnya dari Qiraat Syaz
adalah merupakan Tafsir dari qiraat shahih (masyhur) dan penjelasan mengenai
dirinya. Huruf-huruf tersebut harakatnya (lafaz Qira’at Syaz tersebut) menjadi
tafsir bagi ayat al-Qur’an pada tempat tersebut. Hal yang demikian ini, yaitu
tafsir mengenai ayat-ayat tersebut, pernah dikemukakan oleh para Tabi’in, dan
ini merupakan hal yang sangat baik.
Pendapat ini diperkuat dengan
pernyataan al-Suyuti, sebagai berikut :
“Jika
penafsiran itu dikemukakan oleh sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yang benar,
yang kemudian menjadi bagian dari qiraat al-Qur’an itu sendiri, tentu tafsir
ini lebih tinggi nilainya dan lebih kuat. Mengambil kesimpulan hukum dari
penafsiran yang dikemukakan Qira’at Syaz ini adalah suatu pengejawantahan yang
dapat dipertanggung jawabkan.”
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas dapat kami menyimpulkan bahwasanya:
- Qira’at adalah cara membaca ayat-ayat al-Qur’an yang dipilih dari salah seorang imam ahli qira’at yang berbeda dengan cara ulama’ lain serta didasarkan atas riwayat yang mutawatir sanadnya yang selaras dengan kaidah-kaidah bahasa arab yang terdapat dalam salah satu mushaf Usmani.
- Qira’at ini muncul pada Nabi Muhammad saw sampai sekarang.
- Macam-macam qira’at dibagi menjadi lima bagian yaitu Qira’ah Mutawatir, Qira’ah Masyhur, Qira’ah Ahad, Qira’ah Syadz, Qira’ah Maudlu’.
- Metode penyampaian Qira’at yaitu mendengar dari guru, membaca didepan guru, melalui ijazah, melalui naskah dari guru, melalui tulisan, wasiat, melalui pemberitahuan (al-I’lam), hasil temuan.
- Qira’at Sab’ah bukanlah Sab’atu ahruf, tetapi qira’at Sab’ah adalah qira’at yang diriwayatkan oleh para imam qiraat yang tujuh orang, dan merupakan bagian dari Sab’atu Ahruf.
- Qira’at ‘Asyarah adalah shahih dan sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah SAW, maka boleh membaca al-Qur’an dengan qiraat manapun diantara salah satu dari yang sepuluh itu, di luar itu adalah Qiraat Syadz serta tidak boleh dipakai untuk membaca al-Qur’an.
- Qira’at, baik shahih maupun syadz, dapat dipakai untuk menetapkan hukum syar’i, sebagaimana pendapat jumhur ulama.
- Umat Islam sangat mementingkan masalah al-Qur’an beserta qiraatnya yang bermacam-macam itu sehingga banyak ulama mengkhususkan diri dalam maslah qiraat dengan mendalaminya, mengajarkannya dan menulis kitab-kitab tentang qiraat. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk menjaga kemurnian al-Qur’an.
- Perbedaan qira’at yang ada mempunyai banyak manfaat bagi umat Islam, terutama dalam memudahkan membaca al-Qur’an dan mengambil hukum dari al-Qur’an.
3.2 Saran
Dengan selesainya makalah ini
tentunya masih banyak yang kurang di dalamnya maka dari itu kami mengharapkan
kritikan dan saran yang sifatnya membangun dari Bapak dosen yang membawakan mata kuliah ini.
Himbauan kepada teman teman yang
membaca makalah ini, untuk terus mencari ilmu tentang Qira’at yang bersumber
dari buku ataupun yang lainnya, karena kami selaku penyusun makalah ini hanya
mengambil dari sedikit informasi saja, sehingga belum dapat menyempurnakan makalah
yang kami buat.
DAFTAR
PUSTAKA
Ash Shiddieqy,
M. Hasbi. 1993. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: PT Bulan Bintang
Abdul Wahid, M.A, Drs. H. Ramli. 1994. Ulumul
Qur’an. Jakarta: Rajawali
Pers
http://bnetpwj.blogspot.co.id/2016/04/makalah-qiraat-quran-lengkap.html
(Internet)
Channa AW, M.Ag, Dra. Liliek. 2010. Ulum
Al-Qur’an dan Pembelajarannya.
Surabaya: Kopertais IV Press.
Anwar M.Ag,
Prof. Dr, H. Rosihon. 2009. Pengantar Ulumul Qur’an. Bandung:
Pustaka Setia
Djalal H.A, Pof. Dr. H. Abdul. 1997.
Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu.
Abdullah
Mawardi. 2011. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
https://darismah.blogspot.co.id/2012/12/makalah-ilmu-qiraat-alquran.html
(Internet)
Nur, Muhammad
Qadirun. 2001. Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. Jakarta: Pustaka Amani.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. 2003. At-Tibyan
Fi Ulumil Qur’an. Jakarta:
Darul Kutub Al- Islamiyah.
Al-Qattan,
Manna Khalil. 1973. Mabahis Fi Ulumil Qur’an. Surabaya: Al-hidayah.
Al-Qodi, Abdul Fattah Abdul Ghoni. 2009.
Al-Wafi fi Syarhi Asy-Syathibiy.
Mesir: Dar el-Islam.
Makalah ini disusun oleh :
- Febi Syaepul Fikri
- Fitria Nur Hasannah
- Hafidudin Riziq
- Febi Syaepul Fikri
- Fitria Nur Hasannah
- Hafidudin Riziq