Makalah Kebaikan dan Keburukan serta Hari Pembalasan (Ilmu Tauhid)
Salah satu contoh Makalah Kebaikan dan Keburukan serta Hari Pembalasan pada Mata Kuliah Ilmu Tauhid
BAB I
1.4 Manfaat
BAB
III
Makalah ini disusun oleh :
- Fani Agung Mulyani
- Fitria Nur Hasannah
- Nabiila Setiawan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kebaikan
dan keburukan adalah suatu perbuatan yang sering kita lakukan di dunia.
Definisi dari kebaikan dan keburukan pun kita mengetahuinya secara tersendiri
dari perilaku atau perbuatan yang dilakukan. Setiap perbuatan kebaikan dan
keburukan tentu ada macam macamnya dan ada tempat tempat tersendiri saat kita
melakukanya. Dan setiap perbuatan yang kita lakukan apapun itu pasti ada
balasannya, kebaikan yang kecil atau yang besar serta keburukan yang kecil atau
yang besar pasti akan ada balasannya maupun balasanya terjadi di dunia yang
langsung ataupun balasannya nanti di akhirat kelak.
Dari ini semua
yang kita ketahui bahwa Allah SWT Maha Adil kepada seluruh manusia di dunia,
ini adalah bukti keadilan Allah SWT.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut :
- Apa pengertian kebaikan ?
- Bagaiman perilaku kebaikan itu ?
- Apa pengertian keburukan ?
- Bagaimana perilaku keburukan itu ?
- Apa pengertian keadilan ?
- Bagaimana keadilan Allah terhadap perbuatan setiap manusia ?
- Apa hari pembalasan ?
- Apa balasannya setiap perbuatan manusia di akhirat nanti ?
1.3 Tujuan
- Memahami pengertian kebaikan.
- Mengetahui apa saja perilaku kebaikan.
- Memahami pengertian keburukan.
- Mengetahui apa saja perilaku keburukan.
- Memahami pengertian keadilan.
- Mengetahui keadilan Allah terhadap semua perbuatan manusia di dunia.
- Memahami pengertian Hari Pembalasan.
- Mengetahui balasan di akhirat terhadap semua perbuatan manusia di dunia
Supaya kami semua dan para pembaca
mengetahui akan suatu perilaku atau perbuatan kebaikan dan keburukan yang
dilakukan serta keadilan yang Allah SWT berikan dan balasan yang akan di terima
di akhirat atas perbuatan kebaikan dan keburukan yang kita lakukan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Kebaikan
Kebaikan
adalah suatu perbuatan yang dilakukan kepada seseorang dan melakukannya dinilai
ibadah oleh Allah dan sebagai ganjarannya Allah memberikan pahala untuk balasan
perbuatan kita. Namun ganjaran tidak selalu kita terima didunia saja, namun
kelak di akhirat juga.
Firman Allah
SWT dalam Al-Qur’an :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ
ذَرَّةٍ ۖ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya
Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada
kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan
dari sisi-Nya pahala yang besar.” (QS. An-Nisa : 40)
Maksud
dari ayat diatas Maksudnya Allah tidak akan mengurangi pahala orang-orang yang
mengerjakan kebajikan walaupun sebesar zarrah (semut
yang paling kecil), bahkan kalau dia berbuat baik, maka pahalanya akan
dilipatgandakan oleh Allah menjadi sepuluh sampai tujuh ratus, bahkan lebih
dari itu serta akan diberikan pahala yang besar yang tidak dapat diperkirakan
oleh seseorang sesuai keadaannya, manfaatnya, keadaan pelakunya dan
keikhlasannya.
2.2 Perbuatan
Baik
Akhlak
mulia yang digambarkan alquran memberi petunjuk tentang sikap dan sifat ketundukan
manusia kepada seruan Tuhan yang diperkuat dengan kemampuan akalnya. Dengan
kata lain kebaikan akhlak adalah kebaikan yang disandarkan pada kepada
pentunjuk syara’ dan akal sehat manusia sekaligus.
Ibnu
Miskawih menyatakan bahwa kebaikan manusia terletak pada “berfikir” Menurut
beliau kebahagian hanya akan terjadi jika terlahir tingkahlaku yang sempurna
yang khas bagi alamnya sendiri, dan bahwa manusia akan bahagia. Jika timbul
dari dirinya seluruh tingkah laku yang tepat berdasarkan pemikiran. Oleh karena
itu kebahagian manusia bertingkat–tingkat dengan jenis pemikiran dan yang
dipikirkanya.
Ditegaskan
Ibnu Miskawih bahwa kebaikan yang sempurna adalah kebahagian merupakan akhir
kebaikan dan kebaikan yang paling utama. Pada akhirnya beliau menyatakan bahwa
tingkatan kebajikan terakhir adalah apabila seluruh perbuatan manusia bersifat
Ilahi.
Dalam
kehidupan manusia terdapat kewajiban berbuat baik dan menghindari perbuatan
jelek/buruk yang bersifat universal dan merupakan keharusan moral, berdasarkan
kodrati kemanusiaan. Berdasarkan itu manusia mengerti segala kewajibannya
sebagai perintah Tuhan. Itulah sebetulnya bukti tentang adanya Tuhan, dan bukti
itu adalah bukti yang praktis.
Bila
diklasifikasikan berdasarkan dimensi, menurut Al-Ghazali, akhlak mempunyai tiga
dimensi, yaitu: dimensi diri, yakni orang dengan dirinya dan Tuhannya seperti
ibadah dan shalat; dimensi sosial, yakni masyarakat, pemerintah dan
pergaulannya dengan sesamanya; dan dimensi metafisis, yakni aqidah dan pegangan
dasarnya.
Ketuhanan
adalah dasar dari seluruh kesusilaan dan tujuan kesusilaan.
Tanpa ketuhanan
tidak mungkin ada kesusilaan yang berkembang. Kebenaran teristimewa dalam ilmu
akhlak/etika adalah postulat : adanya Tuhan, kebebasan kehendak, dan keabadian
jiwa.
2.3 Pengertian
Keburukan
Keburukan
merupakan lawan dari kebaikan. Apabila seseorang melakukan suatua keburukan
maka akan bernilai dosa dimata Allah, dan kebanyakan keburukan ini apabila
dilakukan bisa merugikan orang lain. Dan ingatlah apabila kita melakukan
keburukan ini kepada orang lain mungkin suatu saat keburukan akan menimpa kita
pula karena sesungguhnya Allah itu Maha Adil.
إِنْ أَحْسَنْتُمْ
أَحْسَنْتُمْ لأنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ الآخِرَةِ
لِيَسُوءُوا وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُوا الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ
وَلِيُتَبِّرُوا مَا عَلَوْا تَتْبِيرًا
“Jika kamu
berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu
berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri. Apabila
datang saat hukuman (kejahatan) yang kedua, (Kami bangkitkan musuhmu) untuk
menyuramkan wajahmu lalu mereka masuk ke dalam masjid (Masjidil Aqsa),
sebagaimana ketika mereka memasukinya pertama kali dan mereka membinasakan apa
saja yang mereka kuasai.” (QS. Al-Isra’ : 7)
Maksud
dari ayat ini Karena manfaatnya kembali
kepada kamu, bahkan ketika di dunia, saat kamu berbuat ihsan kamu dapat
mengalahkan musuhmu. Sebagaimana Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah memberikan
kekuasaan kepada musuhmu terhadap kamu ketika kamu melakukan berbagai
kemaksiatan. Yakni membuatmu sedih dengan kesedihan yang nampak di wajahmu
karena adanya pembunuhan dan penawanan. Sebagaimana sebelumnya. Mereka
membinasakan rumah-rumahmu, masjid-masjid, dan ladang tempat kamu bercocok
tanam.
2.4 Perilaku
Keburukan
Akhlak
tercela yang diinformasikan Alquran memberikan gambaran bahwa perilaku itu
merupakan kemenangan tabiat buruk manusia. Seperti telah dijelaskan pada
keterangan yang telah lalu, pada dasarnya kecenderungan manusia kepada
keburukan dipengaruhi oleh hawa dan syahwatnya. Oleh karena itu, wajar bila
Alquran menjelaskan bahwa menuruti hawa nafsu merupakan akhlak tercela. Akhlak
tercela juga menggambarkan kebodohan, kesombongan, kerakusan dan sifat-sifat
lainya yang menandakan manusia dikendalikan oleh syahwah-nya.
2.5 Pengertian
Keadilan
Keadilan
dalam bahasa sebenarnya adalah memberikan sesuatu pada tempatnya, adil bukan
berarti sama rata, melainkan memberikan sesuatu pada orang yang tepat sesuai
dengan aturan yang berlaku. Dalam pengertian keadilan ada beberapa macam
pengertian yang diungkapkan oleh para ahli ilmu kemanusiaan, berikut adalah
beberapa pendapat dari para ahli mengenai pengertian keadilan.
A. Pengertian
keadilan menurut Aristoteles
Aristoteles
mengemukakan epndapatnya mengenai pengertian keadilan bahwa keadilan merupakan
tindakan yang memberikan sesuatu kepada orang yang memang menjadi haknya.
B. Pengertian
keadilan menurut Frans Magnis Suseno
Sedangkan
menurut Suseno, keadilan adalah keadaan
dimana sesama manusia saling menghargai hak dan kewajiban masing-masing yang
membuat keadaan menjadi harmonis.
C. Pengertian
keadilan menurut Thomas Hubbes
Menurut
Hubbes, keadilan adalah sebuah keadaan dimana ada suatu perjanjian yang
kemudian isi perjanjian tersebut dijalankan sesuai dengan aturan yang berlaku
tanpa berat sebelah.
D. Pengertian
keadilan menurut Plato
Dan
pengertin yang terakhir adalah menurut Plato yaitu dimana keadilan adalah
mematuhi semua hukum dan perundangan yang berlaku.
Firman Allah
SWT :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ
بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ
وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebijakan, memberi kepada kamu
kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl : 90)
Ayat tersebut
termasuk salah satu ayat yang paling komprehensif di kitab al-Quran, karena
dalam ayat digambarkan hubungan manusia dan sosial kaum Mukmin di dunia yang berlandaskan pada keadilan,
kebaikan dan menjauh dari segala kezaliman dan arogansi. Bahkan hal itu disebut
sebagai nasehat ilahi yang harus dijaga oleh semua orang. Adil dan keadilan
merupakan landasan ajaran Islam dan
syariat agama ini. Allah Swt tidak berbuat zalim kepada siapapun dan
tidak memperbolehkan seseorang berbuat zalim kepada orang lain dan menginjak
hak orang lain. Menjaga keadilan dan menjauh dari segala perilaku ekstrim kanan
dan kiri menyebabkan keseimbangan diri manusia dalam perilaku individu dan
sosial.
Tentunya,
etika Islam atau akhlak mendorong manusia berperilaku lebih dari tutunan
standar atau keadilan, dalam menyikapi problema sosial dan memaafkan kesalahan
orang lain. Bahkan manusia bisa melakukan lebih dari hak orang lain, yang ini
semua menunjukkan kebaikan atau ihsan. Allah Swt yang memperlakukan manusia
dengan landasan ihsan, mengajak manusia untuk berperilaku baik dengan orang
lain di atas standar keadilan.
Dari sisi
lain, Allah Swt melarang beberapa hal untuk
menjaga keselamatan jiwa dan keamanan masyarakat. Hal-hal yang dilarang
oleh Allah Swt disebut sebagai perbuatan tercela dan buruk. Manusia pun
mengakui bahwa perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah Swt adalah tindakan
yang buruk dan tercela.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang
dapat dipetik:
1. Di samping
keadilan, ihsan atau kebaikan juga dianjurkan. Sebab, ihsan akan menjaga
ketulusan di tengah masyarakat.
2. Ajaran
agama selaras dengan akal dan fitrah manusia. Kecenderungan pada keadilan dan
ihsan serta jauh dari perbuatan munkar adalah tuntutan-tuntutan semua manusia
yang sekaligus perintah Allah Swt.
2.6 Keadilan Allah terhadap Perbuatan Manusia
Kata
keadilan dan maksudnya sudah tidak asing lagi bagi setiap manusia. Ia merupakan
sesuatu yang sangat diharapkan dan didambakan oleh orang-orang yang merasakan
kehidupan sosial sudah tidak wajar lagi. Berbicara tentang keadilan tidak
mengenal batas, ruang dan waktu. Dimana saja komunitas manusia berada, maka
kata keadilan akan muncul bersamaan dengannya. Apa sebenarnya keadilan itu?
Bagaimana Islam memandang keadilan? dan apa yang telah Islam upayakan dalam
menegakkan keadilan.
Memang
kata keadilan mempunyai makna yang luas dan banyak tergantung terminologi yang
kita pakai untuk memaknainya. Dalam salah satu terminologi, keadilan bermakna
meletakkan sesuatu pada tempatnya, dalam terminologi yang lain keadilan
diartikan memberikan hak kepada pemiliknya, dan juga berarti sebuah bawaan
dalam diri seseorang untuk senantiasa menjaga konsekuensi-konsekuensi taqwa dan
lain sebagainya. Dalam hal ini kami akan membahas keadilan yang berkaitan dengan sifat Allah
(Keadilan Ilahi) dan implikasinya dalam kehidupan umat manusia.
1 1. Keadilan
adalah sifat Allah SWT
Kaum
muslimin bersepakat bahwa Allah adalah Zat Yang Mahaadil dan Mahabijaksana.
Karena Quran dalam beberapa ayatnya mengata-kan tentang hal itu dan menafikan
sifat zhalim dari Allah. Meski mereka bersepakat tentang masalah ini, namun
pada kajian teologi Islam terdahulu sempat terjadi perdebatan yang sangat seru
antara golongan yang mengatakan dirinya sebagai "Adliyyah" dan
golongan yang disebut dengan "Non Adliyyah".
Perbedaan
tersebut muncul karena perbedaan frame untuk melihat apa atau siapa yang
menentukan baik dan buruknya perbuatan dasar manusia. Sehubungan dengan
keadilan, golongan pertama berpendapat bahwa Allah tidak berbuat sesuatu
kecuali dengan adil dan bijak, sementara yang kedua mengatakan bahwa segala
perbuatan Allah pasti berdasarkan keadilan. Sekilas dua pernyataan tadi sama,
tetapi sebenarnya berbeda. Dan perbedaan itu terletak pada yang telah
disebutkan tadi. Dalam pandangan
Imamiyyah-Ahlil Bait, masalah keadilan menduduki posisi yang amat sangat
penting sekali dan mereka menjadikannya sebagai dasar agama setelah "Tauhid".
Perlu diinformasikan bahwa dalam kajian awal tentang ilmu akidah Imamiyyah
diterangkan lima dasar agama (Ushuluddin al khamsah): Tauhid, Keadilan,
Kenabian, Kepemimpinan, dan Ma’ad. Menurut mereka, sifat adil dijadikan sebagai
salah satu dari dasar-dasar agama sementara sifat-sifat lainnya tidak, karena
beberapa alasan berikut ini;
Diantara
sifat-sifat dan asma Allah, keadilan mempunyai keistimewaan tersendiri karena
menurut Syaikh Makarim Syirazi, beberapa sifat-sifat Allah kembali kepada sifat
adil seperti sifat kasih sayang, pemberi rezeki, bijaksana dan lainnya.
Oleh
karena cabang-cabang agama merupakan pancaran dari dasar-dasar agama dan
syariat diturunkan sebagai upaya Tuhan untuk
menegakkan keadilan di tengah masyarakat umat manusia. maka sifat adil
Allah menjadi lebih menonjol dibandingkan sifat-sifat lainnya.
Menjadikan
sifat adil sebagai salah satu dasar dari agama memberikanindikasi secara
eksplisit bahwa keadilan harus ditegakkan dan itu termasuk dari anjuran hadits
Qudsi, "Berakhlaklah dengan akhlak Allah".
Lebih
jelasnya keadilan merupakan poros dari seluruh ajaran agama, dan juga sebagai
penyebab diutusnya para Nabi, diturunkannya kitab-kitab dan dibangkitkannya
manusia di alam mahsyar dan alam akhirat, atau dengan kata lain, elemen-elemen
agama seperti syariat, kenabian, kepemimpinan dan kebangkitan hari akhirat
merupakan konsekuensi logis dari keadilan Ilahi. Karena jika Allah tidak
mengutus para Nabi dan tidak menurunkan kitab, maka tujuan dari penciptaan
manusia (yaitu kesempurnaan manusia dengan kembali kepada-Nya) tidak akan
tercapai, atau paling tidak, sangat sulit, sehingga dengan sendirinya,
penciptaan manusia dan alam sekitarnya akan menjadi sia-sia.
Demikian
pula jika tidak ada hari pembalasan, maka Allah sangatlah tidak adil karena
karena Ia membiarkan orang-orang yang berbuat kejahatan dan penindasan tanpa
balasan dan membiarkan orang-orang yang tertindas tidak mendapat menyaksikan
balasan atas-orang-orang yang pernah menindas mereka. Nah untuk itu semua,
Allah Yang Mahaadil mengutus para Nabi, menurunkan kitab dan membangkitkan
manusia di alam akhirat.
Keadilan
Ilahi tidak hanya berkaitan dengan moral dan peraturan sosial-kemanusiaan saja, tetapi keadilan Ilahi berlaku juga
dalam menciptakan alam raya lahiriah ini. Nabi Muhammad saaw. bersabda,
"Dengan keadilan langit dan bumi ditegakkan". Artinya tanpa keadilan,
ekosistem alam semesta ini tidak akan tegak atau malah alam ini tidak akan ada
sama sekali. Jadi alam raya ini ada karena keadilan, dan sistem yang berlaku di
dalamnya juga dengan adil.
Oleh
karena itu, sifat adil menjadi sifat yang paling nyata dan paling berperan
dalam perbuatan-perbuatan Allah, baik yang berkaitan dengan karya alami yang
lahiriah atau filosofi penciptaan.
2. Konsep keadilan Allah dilihat dari
Antonimnya
Para
Ulama menyebutkan anonim dari keadilan yaitu kezhaliman. Kata kezhaliman
mempunyai arti yang banyak sebanyak arti kata keadilan itu sendiri. Allah SWT
sebagai Zat Yang Maha adil sangat jauh dari sifat zhalim (lihat surat Yunus:
144, Al Nisa: 40, Al Anbiya: 47 dan Qaf: 29). Jadi dua kata ini tidak mungkin
kumpul dalam diri satu zat. Ketika Allah disifati adil berarti Dia tidak
zhalim. Yang menarik, para ulama ketika hendak membuktikan keadilan Allah
biasanya mereka terlebih dahulu menafikan dari-Nya faktor-faktor perbuatan
zhalim.
Diantara
faktor-faktor tersebut adalah:
a)
Kebodohan
Terkadang
seseorang berbuat kezhaliman atau kesalahan karena dia tidak mengetahui bahwa
yang dia lakukan itu adalah salah atau zhalim. Oleh karena Allah Maha Mengetahui
atas segala sesuatu, maka tidak mungkin Dia tidak mengetahui perbuatan yang
zhalim dan salah itu.
b) Kebutuhan
Faktor
lain seseorang berbuat kezhaliman atau kesalahan adalah dia membutuhkan sesuatu
yang tidak dia miliki, lalu dia mencoba mengambilnya secara zhalim. Allah
Mahakaya sehingga Dia tidak membutuhkan kepada selain diri-Nya sendiri.
c) Kelemahan
Seseorang
karena tidak berdaya untuk menghindari kezhaliman atau kesalahan, maka dia
terpaksa melakukannya. Allah Zat Yang Mahakuasa untuk berbuat sesuatu sehingga
tidak ada sesuatupun yang memaksa-Nya.
d) Main-main
Seringkali
seseorang berbuat kezhaliman atau kesalahan hanya karena main-main atau iseng.
Allah jauh dari mempunyai motivasi seperti itu, karena motivasi ini timbul dari
seseorang yang tidak mempunyai tujuan dalam perbuatannya.
Tentu
empat faktor tadi tidak ada pada Zat Allah, maka Dia tidak akan pernah berbuat
kezhaliman atau dengan kata lain, Dia selalu berbuat sesuatu dengan adil. Atas
dasar asumsi ini, maka segala fenomena alam eksternal seperti gempa bumi,
gunung berapi dan lainnya ataupun internal seperti cacat fisik, kelaparan dan
lainnya bukanlah fenomena-fenomena yang dikecualikan dari keadilan Ilahi.
Secara umum dan global fenomena-fenomena itu mengandung sebuah nilai
sains-filosofis yang sebagian darinya telah terungkap. Allah berfirman: "Yang
telah baik menciptakan segala sesuatu." (Qs. Sajdah: 7). Karena tidak
ada alasan dan faktor bagi Allah untuk melakukan kesalahan dan kezhaliman,
seperti tersebut tadi. Jadi jika ada fenomena khususnya yang internal bukanlah
kesalahan atau kezhaliman dari Allah, tapi itu merupakan kesalahan manusia
kalau tidak, ia mengandung sebuah kemashlahatan
2.7 Pengertian
Hari Pembalasan
Yaum
al-din (hari pembalasan) berarti hari berakhirnya rangkaian alam kehidupan yang
pernah dijalani manusia, mulai dari Alam Arwah, Alam Arham, Alam Fana', dan
Alam Barzakh (Alam Kubur). Yaum al-din disebut juga dengan yaum al-akhirah
(hari akhirat) karena tidak ada lagi jenis kehidupan lain sesudahnya.
Yaum
al-din disebut sebagai hari pembalasan karena pada periode kehidupan terakhir
bagi umat manusia ini akan diperlihatkan hasil usaha manusia yang pernah
dilakukan sebelumnya, khususnya di akhirat.
Pengertian
tersebut di atas sesuai dengan ayat:
"Pada
hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang dirugikan pada hari ini.
Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya". (QS Gafir [40]:17).
Ayat
ini mengunakan istilah al-yaum, yang lebih tepat diartikan waktu atau masa
tertentu, bukan hari dalam arti siklus perputaran matahari atau bulan yang
limit waktunya sekitar 12 jam.
Jika waktu itu
tiba, maka manusia akan merasakan kebenaran apa yang telah diinformasikan oleh
Alquran:
"Di
tempat itu (Padang Mahsyar), tiap-tiap diri merasakan pembalasan dari apa yang
telah dikerjakannya dahulu dan mereka dikembalikan kepada Allah Pelindung
mereka yang sebenarnyadan lenyaplah dari mereka apa yang mereka ada-adakan"
(QS Yunus [10]:30).
Situasi
Yaum al-Din digambarkan sepertinya sangat berbeda ketika kita sekarang ini
berada di Alam Fana di dunia ini. Di sini kita bisa merasakan kemahapengasihan
dan kemahapenyayangan Allah SWT sebagaimana dijelaskan di dalam ayat pertama,
kedua, dan ketiga dari Surah Al-Fatihah. Tetapi setelah masuk ke ayat ketiga
dan seterusnya maka situasi di hari akhirat terkesan lebih tegas.
Secara
garis besar, Yaumul Jaza (Hari Pembalasan ) adalah hari di mana seluruh umat
manusia mendapatkan balasan atas perbuatannya di dunia. Balasan yang akan
diperoleh manusia tergantung dari amalan yang sudah dikumpulkan di dunia. Jika
manusia tersebut beramal baik selama hidupnya di dunia, maka surga adalah
balasannya. Dan jika manusia beramal buruk, maka neraka dan siksanya adalah
balasannya.
2.8 Balasan
Setiap Perbuatan di Akhirat
1.
Perbuatan Baik
Allah
Subhaanahu wa Ta’ala berfirman ketika menjelaskan keadaan orang-orang yang
berbuat baik (beramal shalih, red);
والله يدعو الىدار السلم ويهدي من يشا ء لى صراط مستقيم
للذين احسنو اا لحسنى وزيا دة ولايرهق وجوههم قترولاذلة ا لئك اصحب
الجنة هم فيها خلدون
“Allah menyeru
(manusia) ke Darussalam (Surga), dan menunjukki orang yang dikehendakiNya
kepada jalan yang lurus (Islam). Orang-orang yang berbuat baik mendapatkan
pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi
debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni Surga, mereka
kekal di dalamnya.” (QS. Yunus 25-26)
Berkata
al-‘Allamah asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy –semoga Allah Ta’ala
merahmatinya- ketika menafsirkan ayat diatas, “Allah Ta’ala mengajak, mendorong
dan menganjurkan hamba-hambaNya secara umum kepada Darussalam (Surga), dan Dia
mengkhususkan hidayah kepada siapa (saja) yang Dia kehendaki untuk dipiih dan
diangkatNya. Ini adalah karunia dan kebaikanNya, dan Allah mengkhususkan
rahmatNya kepada hambaNya yang Dia kehendaki. Ini adalah keadlilan dan
hikmahNya, tidak ada seseorang pun yang memiliki hujjah setelah adanya
penjelasan dan (setelah) diutusnya Rasul. Allah Subhaanahu wa Ta’ala menamakan
Surga dengan Darussalam karena ia selamat dari cacat-cacat dan kekurangan, dan
hal itu dikarenakan kesempurnaan nikmatnya, kelengkapannya, kekekalannya dan
keindahannya dari segala segi.
Manakala
Dia mengajak kepada Darussalam maka seakan-akan jiwa itu berhasrat kepada amal
perbuatan yang mengantarkannya kepada Surga, maka Dia menyampaikannya dengan
firmanNya, “Orang-orang yang berbuat baik mendapatkan pahala yang terbaik
(Surga) dan tambahannya”. Maksudnya, orang-orang yang berbuat baik dalam
beribadah kepada A llah hendaklah beribadah kepadaNya dengan pijakan muraqabah
(merasa diawasi), dan ketulusan (keikhlasan) dalam beribadah, dan melaksanakan
apa yang dia mampu darinya. Mereka
juga berbuat baik kepada hamba-hamba Allah dengan apa yang mereka mampu, berupa
perbuatan baik yang bersifat perkataan dan perbuatan: memberikan kebaikan
materi, kebaikan jasmani, amar ma’ruf, nahi mungkar, mengajar orang-orang yang
bodoh (jahil), memberikan nasihat kepada orang-orang yang berpaling dan
kebaikan-kebaikan yang lain.
Orang-orang
yang berbuat baik itulah yang mendapatkan kebaikan i.e Surga yang sempurna kebaikannya
dan sebuah tambahan melihat Wajah Allah Ta’ala yang mulia, mendengar firmanNya,
meraih ridhaNya, (dan) berbahagia dengan kedekatan kepadaNya. Dengan ini
terwujudlah harapan tertinggi yang diharapkan oleh orang-orang yang berharap
dan sesuatu yang dimohon oleh orang-orang yang memohon.
Kemudian
Dia menyebutkan lenyapnya ketakutan mereka, Dia berfirman :
“Dan muka
mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan”. Maksudnya,
mereka tidak ditimpa sesuatu yang tidak diinginkan dari segi apapun, karena
jika sesuatu yang tidak diinginkan menimpa manusia, maka hal itu akan terbaca di
wajahnya, ia akan kusut dan suram. Adapun mereka (yang mengerjakan amal
shalih), maka Allah berfirman tentangnya,
تعرف في وجوههم نضرةالنعيم
“Kamu dapat mengetahui
dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan”. (QS.
Al-Muthaffifin 24).
Mereka itu
adalah penduduk Surga yang tinggal kekal di dalamnya, tidak berpindah, tidak
lenyap dan tidak akan berubah.”
2.
Perbuatan Buruk
Di
ayat berikutnya Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman (ketika menjelaskan keadaan
orang-orang yang berbuat keburukan), “Dan orang-orang yang mengerjakan
kejahatan (mendapat) balasan yang setimpal dan mereka ditutupi kehinaan. Mereka
tidak memiliki seorang pelindung pun dari (azab) Allah, seakan-akan muka mereka
ditutupi dengan kepingan-kepingan malam yang gelap gulita. Mereka itulah
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (QS. Yunus 27)
Kembali
asy-Syaikh al-Mufassir Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy –semoga Allah Ta’ala
merahmatinya- menjelaskan ayat diatas di dalam tafsirnya, “Manakala Allah
menyebutkan penduduk Surga, maka Dia menyebutkan penghuni Neraka, lalu Dia
menyebutkan bahwa barang dagangan mereka yang mereka dapatkan di dunia adalah
amal-amal buruk yang mengundang murka Allah berupa berbagai macam kekufuran,
pendustaan dan kemaksiatan, maka balasan (kepada) mereka adalah keburukan yang
sepertinya yakni balasan yang menyedihkan mereka menurut keburukan yang mereka
lakukan sesuai dengan perbedaan keadaan mereka. “Dan mereka ditutupi”,
maksudnya dinaungi, “kehinaan” di hati mereka dan ketakutan terhadap azab
Allah, tidak ada yang melindungi mereka darinya, dan tidak ada yang
membentengi. Kehinaan batin itu merembet kepada lahir mereka, maka wajah mereka
(pun) menghitam “seakan-akan muka mereka ditutupi dengan kepingan-kepingan
malam yang gelap gulita. Mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di
dalamnya”. Berapa (jauh) perbedaan antara kedua golongan (tersebut)?. Betapa
jauhnya jurang antara keduanya.
“Wajah-wajah
(orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnya-lah mereka
melihat. Dan wajah (orang-orang kafir) pada hari itu muram, mereka yakin bahwa
akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat.” (QS.Qiyamah 22-25)
“Banyak muka
pada hari itu berseri-seri, tertawa dan gembira ria. Dan banyak (pula) muka
pada hari itu tertutup debu, dan ditutup lagi oleh kegelapan. Mereka itulah
orang-orang kafir lagi durhaka.” (QS. Abasa 38-42)” [Taisir al-Kareem
ar-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannaan, vol. 3, juz. 11]
Dari
penjelasan as-Syaikh as-Sa’dy diatas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa
perbuatan baik dalam bentuk amalan shaliha akan membawa pelakunya kepada
Darussalam (Surga) yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, tempat yang penuh
dengan kesenangan dan kenikmatan, lagi kekal di dalamnya untuk selama-lamanya,
‘abadan ‘abada. Wajah mereka berseri-seri, tidak ditutupi oleh debu hitam, dan
tidak pula oleh kehinaan. Adapun perbuatan buruk dalam bentuk kesyirikan,
kekufuran, pendustaan terhadap ayat-ayat Allah Tabaaraka wa Ta’ala dan risalah
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan berbagai bentuk kemaksiatan,
akan membawa pelakunya kepada Neraka, azab Allah Tabaaraka wa Ta’ala yang
pedih, dan kehinaan tiada akhir. Wajah mereka menghitam, tertutupi oleh debu
dan kegelapan seakan-akan tertutupi oleh kepingan-kepingan malam yang gelap
gulita, na’udzubillaahi min dzalik. Mudah-mudahan kita termasuk golongan yang
pertama yang ikhlas dalam mengerjakan amal shalih dan ittiba’ kepada Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallama demi mengharapkan Wajah Allah yang mulia di
Surga kelak. Wallahu Ta’ala a’lamu.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang
dapat di ambil dari pembahasan diatas adalah :
- Bahwa suatu perbuatan baik adalah amal yang terpuji, serta setiap kebaikan akan ada balasannya. Balasan yang akan di terima bisa terjadi secara langsung di dunia maupun terjadi nanti di akhirat kelak.
- Bahwa suatu perbuatan buruk adalah amal yang tidak terpuji sama seperti kebaikan, keburukan juga akan mendapatkan balasannya terhadap apa yang kita perbuat, mungkin balasan yang di terima tidak terjadi di dunia tetapi nanti di akhirat kelak.
- Dari perbuatan baik da buruk pasti akan ada balasannya, ini adalah suatu keadilan Allah yang diberikan terhadap semua manusia di dunia, sekecil apapun perbuatan yang kita lakukan baik atau buruk akan ada balasan yang tak terduga yang Allah berikan dan Allah tak akan mengurangi suatu pahala walaupun hanya kecil kebaikan yang kita lakukan.
3.2 Saran
Dengan selesainya makalah ini tentunya
masih banyak yang kurang di dalamnya maka dari itu kami mengharapkan kritikan
dan saran yang sifatnya membangun dari Bapak
dosen yang membawakan mata kuliah ini.
Himbauan kepada teman teman yang membaca
makalah ini, untuk terus mencari ilmu tentang materi yang kami bawa ini. Yang
bersumber dari buku ataupun yang lainnya, karena kami selaku penyusun makalah
ini hanya mengambil dari sedikit informasi saja, sehingga belum dapat
menyempurnakan makalah yang kami buat.
DAFTAR PUSTAKA
http://laabaksa.blogspot.co.id/2011/01/kebaikan-dan-keburukan.html
https://tafsirq.com/4-an-nisa/ayat-40
http://www.tafsir.web.id/2013/01/tafsir-nisa-ayat-40-46.html
http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-al-isra-ayat-1-11.html
http://genggaminternet.com/pengertian-keadilan-dan-macam-macam-keadilan/
http://indonesian.irib.ir/islam/al-quran/item/85554-tafsir-al-quran,-surat-an-nahl-ayat-90-92
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/16/02/05/o22seo313-apa-itu-hari-pembalasan
http://old-nakula.blogspot.co.id/2011/12/kebaikan-vs-keburukan-serta-balasannya.html
Makalah ini disusun oleh :
- Fani Agung Mulyani
- Fitria Nur Hasannah
- Nabiila Setiawan