Ilmu Warits (Fiqh (II) Mu'amalah)

Ringkasan materi mengenai Ilmu Warits dalam mata kuliah Fiqh (II) Mu'amalah


ILMU WARIS


A.  Pengertian Waris
Kata waris berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata “warisa” (ورث)”yarisu” (يرث” ,wirsan” (ورثا), isim failnya “waarisun” (وارث ) yang artinya ahli waris. Sedangkan maknanya waris menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain’. Atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Kata waris terdapat dalam berbagai bentuk, makna tersebut dapat kita temukan dalam Al- Qur’an, yang antara lain :
1)        Mengandung makna “mengganti kedudukan” (QS. al-Naml, 27:16)
2)        Mengandung makna “memberi atau menganugerahkan” (QS. al-Zumar, 39:74)
3)        Mengandung makna “mewarisi atau meminta warisan” (QS. al-Maryam, 19:6)
Kata jamak dari waris/faraid yang artinya semakna dengan mafrudah itu yaitu sudah ditentukan kadarnya. Serta kewarisan (al-muwaris kata tunggalnya almiras) lazim juga disebut dengan faraid, yaitu jamak dari kata faridah diambil dari kata fard yang bermakna “ ketentuan atau takdir “. Al-fard dalam terminology syar’i ialah bagian yang telah ditentukan untuk ahli waris. Adapun dalam istilah umum, waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup.
Adapun pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya. Sedangkan makna al-miras menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i. Dengan demikian secara garis besar definisi warisan yaitu perpindahan berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup dengan memenuhi syarat dan rukun dalam mewarisi. Dengan demikian secara garis besar definisi warisan yaitu perpindahan berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup dengan memenuhi syarat dan rukun dalam mewarisi.
Fiqih al-mawaris (ilmu waris) disebut juga hukum kewarisan islam, hukum warisan, hukum kewarisan dan hukum waris, yang sebenarnya terjemahan bebas dari kata mawaris. Bedanya, fiqih al-mawaris menunjukkan identitas hukum waris Islam, sementara hukum warisan memiliki konotasi umum, bisa mencangkup hukum waris adat atau hukum waris yang diatur dalam kitab undang-undang hukum perdata. Berbicara tentang masalah waris tentunya tidak bisa lepas dari ilmu faraid. Karena dalam fiqih mawaris ada ilmu faraid yang digunakan untuk mengetahui tata cara pembagian dan untuk mengetahui siapa-siapa saja yang berhak mendapat bagian, siapa yang tidak mendapat bagian dan berapa besar bagiannya. Al-Faraid (الفرائض) adalah bentuk jamak dari kata Al-Faridah (الفريضه) yang oleh para ulama diartikan semakna dengan lafaz mafrudah, yaitu bagian-bagian yang telah ditentukan kadarnya.
Secara terminologi pengertian faraid adalah suatu cara yang digunakan untuk mengetahui siapa-siapa yang memperoleh bagian-bagian tertentu, maka ditetapkan terlebih dahulu ahli-ahli waris dari orang yang meninggal. Selanjutnya baru dapat diketahui siapa diantara ahli waris yang mendapatkan bagian dan yang tidak mendapat bagian tertentu. Dari uraian di atas terdapat perbedaan mengenai penamaan fiqih al-Mawaris (ilmu waris) dengan ilmu faraid. Dimana dinamakan ilmu waris karena dalam ilmu waris dibahas hal-hal yang berkaitan dengan harta peninggalan. Sedangkan dikatakan ilmu faraid karena berkaitan tentang bagian-bagian tertentu, yang sudah ditetapkan ukurannya bagi setiap ahli waris. Maka pengertian Ilmu Waris adalah harta peninggalan dari orang yang telah meninggal dan kemudian dibagikan pada ahli warisnya.                                                                                                        
B.  Kedudukan Ilmu Waris dalam Islam
Adanya peninggalan suatu harta dari orang yang meninggal merupakan suatu hal yang sering sekali bisa menimbulan suatu masalah atau musibah pertengkaran sengketa yang ada di dalam suatu keluarga. Dengan adanya sengketa tersebut akhirnya bisa memutuskan hubungan silahturahmi antar keluarga yang satu dengan yang lainnya. Dalam Islam memutuskan suatu hubungan silahturahmi merupakan suatu yang sangat diharamkan.
Terjadinya suatu putusnya hubungan tali silahturahmi tersebut disebabkan karena pada masing-masing pihak dari ahli waris mempunyai dasar bahwa mereka menginginkan baagian warisan yang jumlahnya lebih banyak.Sebenarnya hal tersebut merupakan suatu hal yang berasal dari hawanafsu keserakahan. Untuk mengatasi akan hal tersebut Allah SWT dalam Al-Quran telah menurunkan suatu aturan dan ketentuan untuk mengatur pembagian harta warisan. Dan aturan yang sudah ada tersebut memang sudah pasti dan benar.
Dalam Alquran surat An-Nisa ayat 11 Allah SWT telah menjelaskan:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

C.  Hukum Mempelajari Mawaris dan Sebab Waris Mewaris
Mempelajari Ilmu Mawaris Fardhu Kifayah. Kita umat islam wajib mengetahui ketentuan yang diterapkan Allah dalam pembagian harta warisan. Nabi bersabda :
Artinya : ”Bagilah harta pustaka (Warisan) di antara ahli-ahli waris menurut kitabullah.” (HR. Muslim dan Abu daud)
Tidak semua orang yang ditinggal mati oleh seseorang akan mendapatkan warisan. Menurut syariat islam sebagai sebab seseorang akan mendapatkan warisan dari orang yang meninggal dunia adalah sebagai berikut :
1)        Pertalian darah atau nasab (Nasab Haqiqi)
Yaitu bahwa orang dapat mewarisi adalah orang yang ada hubungan darah dengan si mayit.
2)        Perkawinan yang sah (persemendaan)
Perkawinan dilakukan secara sah menurut agama, menyebabkan istri atau suami saling mewarisi.
3)        Pemerdekaan atau wala (nasab hukmi)
Seseorang yang memerdekakan hamba sahaya meskipun diantara mereka tidak ada hubungan darah. Adapun orang yang tidak memiliki ahli waris. Sabda Rasullulah: Artinya :” Saya menjadi ahli waris dari orang yang tiddak memiliki ahli waris.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Selain itu dalam waris mewaris terdapat juga beberapa halangan-halangan yang tidak berhak mendapat harta waris, diantaranya yaitu :
1)        Membunuh
Seseorang yang membunuh ahli warisnya dengan cara yang tidak dibenarkan oleh hukum, maka gugur haknya mendapatkan harta waris
2)        Murtad
Orang yang keluar dari agama islam kehilangan hak warsi mewarisi
3)        Kafir
Orang yang memeluk agama selain agama islam tidak dapat mewarisi harta warisan orang islam
4)        Berstatus hamba sahaya
Jika seseorang budak meninggal dunia ia tidak dapat diwarisi oleh orang tua atau ahli warisnya karena ia milik tuannya maupun sebaiknya.
5)        Sama-sama meninggal dunia

D.  Pembagian Harta Waris
1)        Yang Berwenang Membagikan Harta Waris
            Adapun yang berwenang membagi harta waris atau yang menentukan bagiannya yang berhak mendapatkan dan yang tidak, bukanlah orang tua anak, keluarga atau orang lain, tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Dia-lah yang menciptakan manusia, dan yang berhak mengatur kebaikan hambaNya.
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan…” (QS. An-Nisa : 11)
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah : “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan…” (QS. An-Nisa : 176)
            Sebab turun ayat ini, sebagaimana diceritakan oleh sahabat Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu bahwa dia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan dengan harta yang kutinggalkan ini”? Lalu turunlah ayat An-Nisa ayat 11.
            Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu berkata, datang isteri Sa’ad bin Ar-Rabi’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa dua putri Sa’ad. Dia (isteri Sa’ad) bertanya :”Wahai Rasulullah, ini dua putri Sa’ad bin Ar-Rabi. Ayahnya telah meninggal dunia ikut perang bersamamu pada waktu perang Uhud, sedangkan pamannya mengambil semua hartanya, dan tidak sedikit pun menyisakan untuk dua putrinya. Keduanya belum menikah….”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allahlah yang akan memutuskan perkara ini”. Lalu turunlah ayat waris.
            Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil paman anak ini, sambil bersabda : “Bagikan kepada dua putri Sa’ad dua pertiga bagian, dan ibunya seperdelapan Sedangkan sisanya untuk engkau” (Hadits Riwayat Ahmad, 3/352, Abu Dawud 3/314, Tuhwatul Ahwadzi 6/267, dan Ibnu Majah 2/908,Al-Hakim 4/333,Al-Baihaqi 6/229. Dihasankan oleh Al-Albani. Lihat Irwa 6/122)
            Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah, bahwa yang berwenang dan berhak membagi waris, tidak lain hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan Allah mempertegas dengan firmanNya فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ (ini adalah ketetapan dari Allah), dan firmanNya تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ (itu adalah ketentuan Allah). Lihat surat An Nisa ayat 11,13 dan 176. Ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sangat tepat dan satu-satunya cara untuk menanggulangi problema keluarga pada waktu keluarga meninggal dunia, khususnya dalam bidang pembagian harta waris, karena pembagian dari Allah Jalla Jalaluhu pasti adil. Dan pembagiannya sudah jelas yang berhak menerimanya..Oleh sebab itu, mempelajari ilmu fara’idh atau pembagian harta pusaka merupakan hal yang sangat penting untuk menyelesaikan perselisihan dan permusuhan di antara keluarga, sehingga selamat dari memakan harta yang haram.
            Berikutnya, Allah Jalla Jalaluhu menentukan pembagian harta waris ini untuk kaum laki-laki dan perempuan. Allah berfirman :
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan” (QS. An-Nisa : 7)
2)        Barang Yang Dianggap Sebagai Peninggalan Harta Waris
            Dalam ilmu fara’idh, terdapat istilah At-Tarikah. Menurut bahasa, artinya barang peninggalan mayit. Adapun menurut istilah, ulama berbeda pendapat. Sedangkan menurut jumhur ulama ialah, semua harta atau hak secara umum yang menjadi milik si mayit.
            Muhammad bin Abdullah At-Takruni berkata : “At-Tarikah ialah, segala sesuatu yang ditinggalkan oleh mayit, berupa harta yang ia peroleh selama hidupnya di dunia, atau hak dia yang ada pada orang lain, seperti barang yang dihutang, atau gajinya, atau yang akan diwasiatkan, atau amanatnya, atau barang yang digadaikan, atau barang baru yang diperoleh sebab terbunuhnya dia, atau kecelakaan berupa santunan ganti rugi.
Adapun barang tidak berhak diwaris, diantaranya :
1)    Peralatan tidur untuk isteri dan peralatan yang khusus bagi dirinya, atau pemberian suami kepada isterinya semasa hidupnya.
2)    Harta yang telah diwakafkan oleh mayit, seperti kitab dan lainnya.
3)    Barang yang diperoleh dengan cara haram, seperti barang curian, hendaknya dikembalikan kepada pemiliknya, atau diserahkan kepada yang berwajib.
4)    Semua barang peninggalan mayit bukan berarti mutlak menjadi milik ahli waris, karena ada hak lainnya yang harus diselesaikan sebelum harta peninggalan tersebut dibagi. Hak-hak yang harus diselesaikan sebelum harta waris tersebut dibagi ialah sebagai berikut.
a.    Mu’nat Tajhiz Atau Perawatan Jenazah
Kebutuhan perawatan jenazah hingga penguburannya. Misalnya meliputi pembelian kain kafan, upah penggalian tanah, upah memandikan, bahkan perawatan selama dia sakit. Semua biaya ini diambilkan dari harta si mayit sebelum dilakukan hal lainnya. Berdasarkan perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْهِ (Dan kafanillah dia dengan dua pakaianya). (Hadits Riwayat Bukhari 2/656, Muslim 2/866) Maksudnya, peralatan dan perawatan jenazah diambilkan dari harta si mayit.
b.    Al-Huquq Al-Muta’aliqah Bi Ainit Tarikah Atau Hak-Hak Yang Berhubungan Dengan Harta Waris.
Misalnya barang yang digadaikan oleh mayit, hendaknya diselesaikan dengan menggunakan harta si mayit, sebelum hartanya di waris. Bahkan menurut Imam Syafi’i, Hanafi dan Malik. Didahulukan hak ini sebelum kebutuhan perawatan jenazah, karena berhubungan dengan harta si mayit. Dalilnya ialah, karena perkara ini termasuk hutang yang harus diselesaikan oleh si mayit sebagaimana disebutkan di dalam surat An-Nisa ayat 12, yaitu : “Sesudah dibayar hutangnya”.
c.    Ad-Duyun Ghairu Al-Muta’aliqah Bit Tarikah Atau Hutang Si Mayit
Apabila si mayit mempunyai hutang, baik yang behubungan dengan berhutang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti membayar zakat dan kafarah, atau yang berhubungan dengan anak Adam, seperti berhutang kepada orang lain, pembayaran gaji pegawainya, barang yang dibeli belum dibayar, melunasi pembayaran, maka sebelum diwaris, harta si mayit diambil untuk melunasinya. Dalilnya ialah.
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi madharat (kepada ahli waris)”. (QS. An-Nisa : 12)
d.   Tanfidzul Wasiyyah Atau Menunaikan Wasiat
Sebelum harta diwaris, hendaknya diambil untuk menunaikan wasiat si mayit, bila wasiat itu bukan untuk ahli waris, karena ada larangan hal ini, dan bukan wasiat yang mengandung unsur maksiat, karena ada larangan mentaati perintah maksiat. Wasiat ini tidak boleh melebihi sepertiga, karena merupakan larangan. Dalilnya, lihat surat An-Nisa ayat 12 yaitu : “Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat”.
Jika empat perkara di atas telah ditunaikan, dan ternyata masih ada sisa hak milik si mayit, maka itu dinamakan Tarikah atau bagian bagi ahli waris yang masih hidup. Dan saat pembagian harta waris, jika ada anggota keluarga lainnya yang tidak mendapatkan harta waris ikut hadir, sebaiknya diberi sekedarnya, agar dia ikut merasa senang, sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 8.
4)        Penentuan Yang Berhak Menerima Harta Waris
            Sebelum harta peninggalan si mayit diwaris, hendaknya diperhatikan perkara-perkara dibawah ini.
1)   Al-Muwarrits (orang yang akan mewariskan hartanya) dinyatakan telah mati, bukan pergi yang mungkin kembali, atau hilang yang mungkin dicari.
2)   Al-Waritsun wal Waritsat (ahli waris), masih hidup pada saat kematiannya Al-Muwarrits.
3)   At-Tarikah (barang pusakanya) ada, dan sudah disisakan untuk kepentingan si mayit.
4)   Hendaknya mengerti Ta’silul Mas’alah, yaitu angka yang paling kecil sebagai dasar untuk pembagian suku-suku bagian setiap ahli waris dengan hasil angka bulat. Adapun caranya :
a.    Jika ahli waris memiliki bagian ashabah, tidak ada yang lain, maka ta’silul mas’alahnya menurut jumlah yang ada ; yaitu laki-laki mendapat dua bagian dari bagian wanita.
Misalnya : Mayit meninggalkan 1 anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Maka angka ta’silul mas’alahnya 3, anak laki-laki = 2 dan anak perempuan =1.
Misal lain : Mayit meninggalkan 5 anak laki-laki, maka angka aslul mas’alahnya 5, maka setiap anak laki-laki = 1
b.    Jika ahli waris ashabul furudh hanya seorang, yang lain ashabah, maka ta’silul mas’alahnya angka yang ada.
Misalnya : Mayit meninggalkan isteri dan anak laki-laki. Maka angka ta’silul mas’alahnya 8, karena isteri mendapatkan 1/8, yang lebihnya untuk anak laki-laki; isteri = 1 dan anak laki-laki = 7
c.    Jika ahli waris yang mendapatkan ashabul furudh lebih dari satu, atau ditambah ashabah, maka dilihat angka pecahan setiap ahli waris, yaitu : ½, ¼, 1/6, 1/8, 1/3. 2/3.
·           Jika sama angka pecahannya (المماثلة ), seperti 1/3, 1/3, maka ta’silul masalahnya diambil salah satu, yaitu angka 3
·           Jika pecahan satu sama lain saling memasuki ( المداخلة ), , maka ta’silul masalahnya angka yang besar, seperti ½, 1/6, ta’silul masalahnya 6, 1/6 dari 6 = 1, sedangkan ½ dari 6 = 3
·           Jika pecahan satu sama lain bersepakat (الـمتوافقة ) maka ta’silul masalahnya salah satu angkanya dikalikan dengan angka yang paling kecil yang bisa dibagi dengan yang lain. Misalnya ; 1/6, 1/8, maka ta’silul masalahnya 24
·           Jika pecahan satu sama lain kontradiksi (المباينة), maka ta’silul masalahnya sebagian angkanya dikalikan dengan angka lainnya, sekiranya bisa dibagi dengan angka yang lain. Misalnya : angak 2/3, ¼, maka ta’silul mas’alahnya 4 x 3 = 12
d.   Bila sulit memahami bagian [c1-c4], maka bisa memilih salah satu dari angka 2, 3, 4, 6, 8, 12, 24 untuk dijadikan angka pedoman yang bisa dibagi dengan pecahan suku-suku bagian ahli waris dengan hasil yang bulat.
Misalnya : si A mendapatkan 2/3, si B mendapatkan ¼, maka angka pokok yang bisa dibagi keduanya bukan 8, tetapi 12 dan setersunya.
            Dalam membagi harta waris setelah diketahui ta’silul masalah dan bagian setiap ahli warisnya, ada tiga cara yang bisa ditempuh, yaitu :
1)   Dengan cara menyebutkan pembagian masing-masing ahli waris sesuai dengan ta’silul masalahnya, lalu diberikan bagiannya.
Misalnya si mati meninggalkan harta Rp. 120.000 dan meninggalkan ahli waris : isteri, ibu dan paman. Maka ta’silul masalahnya 12, karena isteri mendapatkan 1/4, dan ibu mendapatkan 1/3.
·           Isteri mendapatkan /4 dari 12 = 3, sehingga ¼ dari 120.000 = 30.000
·           Ibu 1/3 dari 12 = 4, maka 1/3 dari 120.000 = 40.000
·           Paman ashabah mendapatkan sisa yaitu 5, maka 120.000 – 30.000 – 40.000 = 50.000
2)   Atau dengan mengalikan bagian setiap ahli waris dengan jumlah harta waris, kemudian dibagi hasilnya dengan ta’silul mas’alah, maka akan keluar bagiannya. Contoh seperti di atas, prakterknya.
·           Isteri bagiannya 3 x 120.000 = 360.000 : 12 = 30.000
·           Ibu bagiannya 4 x 120.000= 480.000 : 12 = 40.000
·           Paman bagiannya 5 x 120.000 = 600.000 : 12 = 50.000
3)   Atau membagi jumlah harta waris dengan ta’silul mas’alah, lalu hasilnya dikalikan dengan bagian ahli waris, maka akan keluar hasilnya.
Contoh seperti di atas, prkateknya.
·           Isteri bagiannya 120.000 : 12 = 10.000 x 3 (1/4 dari 12) = 30.000
·           Ibu bagiannya 120.000 : 12 = 10.000 x 4 (1/3 dari 12) = 40.000
·           Paman bagiannya 120.000 : 12 = 10.000 x 5 (sisa) = 50.000
5)        Perincian Setiap Bagian Ahli Waris dan Persyaratannya
a.    Bagian Anak Laki-Laki
1)   Mendapat ashabah (semua harta waris), bila dia sendirian, tidak ada ahli waris yang lain.
2)   Mendapat ashabah dan dibagi sama, bila jumlah mereka dua dan seterusnya, dan tidak ada ahli waris lain.
3)   Mendapat ashabah atau sisa, bila ada ahli waris lainnya.
4)   Jika anak-anak si mayit terdiri dari laki-laki dan perempuan maka anak laki mendapat dua bagian, dan anak perempuan satu bagian. Misalnya, si mati meninggalkan 5 anak perempuan dan 2 anak laki-laki, maka harta waris dibagi 9. Setiap anak perempuan mendapat 1 bagian, dan anak laki-laki mendapat 2 bagian.
b.   Bagian Ayah
1)   Mendapat 1/6, bila si mayit memiliki anak laki atau cucu laki. Misalnya si mati meninggalkan anak laki dan bapak, maka harta dibagi menjadi 6, Ayah mendapat 1/6 dari 6 yaitu 1, sisanya untuk anak.
2)   Mendapat ashabah, bila tidak ada anak laki atau cucu laki. Misalnya si mati meninggalkan ayah dan suami, maka suami mendapat ½ dari peninggalan isterinya, bapak ashabah (sisa).
3)   Mendapat 1/6 plus ashabah, bila hanya ada anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki. Misalnya si mati meninggalkan ayah dan satu anak perempuan. Maka satu anak perempuan mendapat ½, ayah mendapat 1/6 plus ashabah.
Mengenai seorang anak wanita mendapat ½, lihat keterangan berikutnya. Semua saudara sekandung atau sebapak atau seibu gugur, karena ada ayah dan datuk.
c.    Bagian Kakek
1)   Mendapat 1/6, bila ada anak laki-laki atau cucu laki-laki, dan tidak ada bapak. Misalnya si mati meninggalkan anak laki-laki dan kakek. Maka kakek mendapat 1/6, sisanya untuk anak laki-laki.
2)   Mendapat ashabah, bila tidak ada ahli waris selain dia
3)   Mendapat ashabah setelah diambil ahli waris lain, bila tidak ada anak laki, cucu laki dan bapak, dan tidak ada ahli waris wanita. Misalnya si mati meninggalkan datuk dan suami. Maka suami mendapatkan ½, lebihnya untuk datuk. Harta dibagi menjadi 2, suami =1, datuk = 1
4)   Kakek mendapat 1/6 dan ashabah, bila ada anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki. Misalnya si mati meninggalkan kakek dan seorang anak perempuan. Maka anak perempuan mendapat ½, kakek mendapat 1/6 ditambah ashabah (sisa).
Dari keterangan di atas, bagian kakek sama seperti bagian ayah, kecuali bila selain kakek ada isteri atau suami dan ibu, maka ibu mendapat 1/3 dari harta waris, bukan sepertiga dari sisa setelah suami atau isteri mengambil bagianya.
Adapun masalah pembagian kakek, bila ada saudara dan lainnya, banyak pembahasannya.
d.   Bagian Suami
1)   Mendapat ½, bila isteri tidak meninggalkan anak atau cucu dari anak laki.
2)   Mendapat ¼, bila isteri meninggalkan anak atau cucu. Misalnya, isteri mati meninggalkan 1 laki-laki, 1 perempuan dan suami. Maka suami mendapat ¼ dari harta, sisanya untuk 2 orang anak, yaitu bagian laki-laki 2 kali bagian anak perempuan
e.    Bagian Anak Perempuan
1)   Mendapat ½, bila dia seorang diri dan tidak ada anak laki-laki
2)   Mendapat 2/3, bila jumlahnya dua atau lebih dan tidak ada anak laki-laki
3)   Mendapat sisa, bila bersama anak laki-laki. Putri 1 bagian dan, putra 2 bagian.
f.     Bagian Cucu Perempuan Dari Anak Laki-Laki
1)   Mendapat ½, bila dia sendirian, tidak ada saudaranya, tidak ada anak laki-laki atau anak perempuan.
2)   Mendapat 2/3, jika jumlahnya dua atau lebih, bila tidak ada cucu laki-laki, tidak ada anak laki-laki atau anak perempun.
3)   Mendapat 1/6, bila ada satu anak perempuan, tidak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki.
4)   Mendapat ashabah bersama cucu laki-laki, jika tidak ada anak laki. Cucu laki-laki mendapat 2, wanita 1 bagian. Misalnya si mati meninggalkan 3 cucu laki-laki dan 4 cucu perempuan. Maka harta dibagi menjadi 10 bagian. Cucu laki-laki masing-masing mendapat 2 bagian, dan setiap cucu perempuan mendapat 1 bagian.
g.    Bagian Isteri
1)   Mendapat ¼, bila tidak ada anak atau cucu
2)   Mendapat 1/8, bila ada anak atau cucu
3)   Bagian ¼ atau 1/8 dibagi rata, bila isteri lebih dari satu
h.   Bagian Ibu
1)   Mendapat 1/6, bila ada anak dan cucu
2)   Mendapat 1/6, bila ada saudara atau saudari
3)   Mendapat 1/3, bila hanya dia dan bapak
4)   Mendapat 1/3 dari sisa setelah suami mengambil bagiannya, jika bersama ibu dan ahli waris lain yaitu bapak dan suami. Maka suami mendapat ½, ibu mendapat 1/3 dari sisa, bapak mendapatkan ashabah (sisa)
5)   Mendapat 1/3 setelah diambil bagian isteri, jika bersama ibu ada ahli waris lain yaitu bapak dan isteri. Maka isteri mendapat ¼, ibu mendapat 1/3 dari sisa, bapak mendapatkan ashabah (sisa).
Sengaja no. 4 dan 5 dibedakan, yaitu 1/3 dari sisa setelah dibagikan kepada suami atau isteri, bukan 1/3 dari harta semua, agar wanita tidak mendapatkan lebih tinggi daripada laki-laki.
i.      Bagian Nenek
Nenek yang mendapat warisan ialah ibunya ibu, ibunya bapak, ibunya kakek.
1)   Tidak mendapat warisan, bila si mati meninggalkan ibu, sebagaimana kakek tidak mendapatkan warisan bila ada ayah.
2)   Mendapat 1/6, seorang diri atau lebih, bila tidak ada ibu.
j.     Bagian Saudari Sekandung
1)   Mendapat ½, jika sendirian,tidak ada saudara sekandung, bapak, kakek, anak.
2)   Mendapat 2/3, jika jumlahnya dua atau lebih, tidak ada saudara sekandung, anak, bapak, kakek.
3)   Mendapat bagian ashabah, bila bersama saudaranya, bila tidak ada anak laki-laki, bapak. Yang laki mendapat dua bagian, perempuan satu bagian.
k.   Bagian Saudari Sebapak
1)   Mendapat ½, jika sendirian, tidak ada bapak, kakek, anak dan tidak ada saudara sebapak,saudara ataupun saudara sekandung.
2)   Mendapat 2/3, jika dua ke atas, tidak ada bapak, kakek, anak dan tidak ada saudara sebapak, saudara ataupun saudara sekandung.
3)   Mendapat 1/6 baik sendirian atau banyak, bila ada satu saudari sekandung, tidak ada anak, cucu, bapak, kakek, tidak ada saudara sekandung dan sebapak.
4)   Mendapat ashabah, bila ada saudara sebapak. Saudara sebapak mendapat dua bagian, dan dia satu bagian.
l.      Bagian Saudara Seibu
Saudara seibu atau saudari seibu sama bagiannya
1)   Mendapat 1/6, jika sendirian, bila tidak ada anak cucu, bapak, kakek.
2)   Mendapat 1/3, jika dua ke atas, baik laki-laki atau perempuan sama saja, bila tidak ada anak, cucu, bapak, kakek.

E.  Gambar Skema Ahli Waris





REFERENSI :
https://almanhaj.or.id/2023-perincian-pembagian-harta-waris.html
https://tafsirq.com/4-an-nisa/ayat-11#tafsir-jalalayn
http://repo.iain-tulungagung.ac.id/3115/2/Bab%20II.pdf
http://fimadani.com/ilmu-waris-dalam-islam/
https://almanhaj.or.id/2021-pembagian-harta-waris.html







Next Post Previous Post

Pages