Makalah Konsep Teori Agama, Argumentasi Dan Bukti Yang Dikemukakan Oleh Para Teoritis (Studi Agama-agama)

Makalah mengenai Konsep Teori Agama, Argumentasi Dan Bukti Yang Dikemukakan Oleh Para Teoritis pada mata kuliah Studi Agama-agama




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Agama merupakan salah satu aspek yang paling penting daripada aspek-aspek budaya yang dipelajari oleh para antropolog dan para ilmuwan sosial lainnya. Di dalam agama, dijumpai ungkapan materi budaya dalam tabiat manusia serta dalam sistem nilai, moral dan etika. Agama itu saling pengaruh-mempengaruhi dengan sistem organisasi kekeluargaan, perkawinan, ekonomi, hukum dan politik. Maka beragama merupakan kebutuhan bagi manusia.
Dalam kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan ghaib, luar biasa atau supernatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam. Kepercayaan itu menimbulkan perilaku tertentu, seperti berdo’a, memuja dan lainnya yang dapat menimbulkan sikap mental tertentu. Berbicara mengenai kehidupan beragama tentu berbicara mengenai suatu subjek yang melakukannya yaitu, manusia. Dalam beragama tentu terdapat perilaku-perilaku tersendiri yang dilakukan oleh manusia, perilaku-perilaku yang akan diteliti oleh para antropolog inilah yang akan menjerumus kedalam permasalahan kajian dalam agama. Maka, dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai permasalahan kajian dalam agama melalui teori teori yang dikemukakan oleh para teoritis mengenai agama.
             
B.     Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut :
1.    Dengan konsep apa teori agama itu dimulai ?
2.    Apa argumentasi yang dibangun oleh masing-masing teoritis itu ?
3.    Apa bukti yang diangkat oleh teori itu ?

C.    Tujuan Penulisan
Tujuan Penulisan Makalah ini adalah :
1.    Mengetahui konsep teori agama oleh para teoritis.
2.    Mengetahui argumentasi yang dibangun oleh para teoritis.
3.    Mengetahui bukti yang diangkat pada teori yang dikemukakan oleh para teoritis.

D.    Manfaat Penulisan
            Supaya saya dan para pembaca dapat mengetahui serta memahami konsep teori agama, argumentasi yang dibangun dan bukti yang diangkat pada suatu teori yang dikemukakan oleh para teoritis.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep Teori Agama Oleh Para Teoritis
1)        Animisme dan Magi oleh E.B. Tylor dan J.G. Frazer
Animisme dalam filsafat adalah doktrin yang menempatkan asal mula kehidupan mental dan fisik dalam suatu energi yang lepas atau sekurang-kurangnya berbeda dari jasad.[1] Sedangkan dalam pandangan Sejarah Agama ialah kepercayaan terhadap makhluk-makhluk spiritual yang erat sekali hubungannya dengan tubuh atau jasad. Salah satu seorang teoritis yaitu Tylor seorang Inggris yang ahli folklor, sastra dan peradaban Yunani dan Romawi klasik. Ia akhirnya tertarik kepada ilmu arkeologi dan tulisan etnografi karena ikut berkelana dengan keluarganya ke Afrika dan Asia.
Dari kajian tentang religi dan agama manusia, ia memandang asal mula agama adalah sebagai kepercayaan kepada wujud spiritual (a belief in spiritual being).[2] Agama digambarkan sebagai kepercayaan kepada adanya ruh gaib yang berpikir, bertindak dan merasakan sama dengan manusia. Kepercayaan kepada yang gaib dalam agama punya asal-usul dari kepercayaan animisme dan dinamisme masyarakat primitif. Segala sesuatu di alam ini dipercayai punya ruh atau jiwa. Kepercayaan kepada ruh atau jiwa ini karena masyarakat primitif menyadari perbedaan antara hidup dan mati dan adanya peristiwa mimpi. Makhluk hidup bergerak-gerak, dan yang telah mati tidak bergerak lagi. Ketika mimpi, manusia merasakan berada pada alam lain, sedangkan jasmaninya tetap di tempat tidur.
Jiwa yang telah lepas dari tubuh setelah mati dinamakan dengan spirit. Ketika masih hidup, berada dalam jasmani dan dinamakan dengan soul. Ruh-ruh yang telah berpisah dari jasad itu, menurut kepercayaan masyarakat primitif, menempati alam sekeliling manusia dan dapat berbuat hal-hal yang tidak dapat diperbuat manusia hidup. Dengan demikian, ruh-ruh itu mendapat tempat yang sangat panting dalam kehidupan mereka dan mendapat penghormatan dan penyembahan dalam bentuk sesajen, doa, korban dan lainnya. Religi seperti inilah yang disebutnya dengan animisme.
Kemudian kepercayaan kepada ruh itu berevolusi menjadi kepercayaan kepada dewa-dewa alam yang berada di belakang setiap peristiwa alam. Selanjutnya kepercayaan kepada dewa-dewa alam ini berevolusi seiring dengan adanya konsep negara dalam kehidupan manusia, menjadi berbagai pangkat dewa yang akhirnya ada yang tertinggi, yaitu satu raja dewa, sehingga sampai kepada kepercayaan monoteisme. Akan tetapi, semuanya punya kesamaan, yaitu percaya kepada wujud spiritual. Agama digambarkan sebagai kepercayaan kepada adanya ruh gaib yang berpikir, bertindak dan merasakan sama dengan manusia. Dengan demikian, ia juga penganut aliran evolusi dalam memahami kebudayaan manusia.
Dalam tahapan kedua mengenai evolusi religi, manusia percaya bahwa semua fenomena alam yang bergerak adalah disebabkan oleh spirit dan kemudian dipersonifikasi sebagai makhluk-makhluk atau pribadi-pribadi yang mempunyai kemauan, pikiran dan kehendak. Kemudian dalam tahapan ketiga evolusi religi, bertautan dan berjalan dengan perkembangan suatu masyarakat yang terwujud dalam susunan dan tata pemerintahan. Pendapat-pendapat dan konsep maupun teori Tylor ini kemudian tidak dapat bertahan, karena ternyata evolusi klasik dihadapkan pada suatu suasana sosial dimana di Barat sendiri, perkembangan masyarakat secara mekanis bergerak ke arah kemajuan yang menyeluruh.
2)        Magi oleh J.G. Frazer
Magi berasal dari Bahasa Persia, maga yang barangkali berarti iman atau pendeta untuk agama Zoroaster, yang bertugas mengembangkan dan memelihara kelestarian agama dualisme dan juga memimpin segala upacara agama. Magi dikatakan juga sangat erat hubungannya dengan sihir. Honig menyamakan arti kedua kata ini, magi sama dengan sihir. Salah satu teoritis yaitu J.G. Frazer seorang pengagum atau murid Tylor berasal dari Skotlandia. Dia membedakan religi dengan magi yang sama-sama cocok bagi masyarakat yang masih berpikir pralogis. Sedangkan sains cocok bagi masyarakat modern yang sudah berpikir logis, Ia juga tidak mengemukakan definisi agama secara spesifik.
Magi dikembangkan dengan harapan dapat memengaruhi proses alam sehingga menguntungkan manusia. Supaya hujan tidak turun pada suatu perhelatan, banjir tidak datang, gunung tidak meletus, digunakan kekuatan magi oleh orang ahli magi yang biasanya kepala suku. Kerja ahli magi yang mirip dengan tukang sihir berusaha memaksa kekuatan alam menurut yang dikehendakinya dengan mantra dan jampi-jampi. Akan tetapi, tatkala mantra magis untuk mengendalikan gejala alam sudah tidak ampuh, supaya masyarakat primitif dapat bertahan hidup. mereka menggunakan agama.
Agama menekankan bahwa gejala alam dikuasai oleh kekuatan supernatural. Karena itu, perilaku orang beragama adalah berdoa, memohon belas kasihan, berharap dengan sepenuh hati, kepada kekuatan supernatural itu. Oleh karena itu, esensi agama, dalam pandangan Frazer, adalah ketergantungan atau kepercayaan kepada kekuatan supernatural.[3] Selanjutnya ketika peran agama telah lemah klan memudar, tampil sains yang dikatakan sebagai magi tanpa kesalahan. Frazer dipengaruhi oleh perhatiannya kepada kehidupan masyarakat primitif. Dengan demikian, pandangannya terhadap agama juga sebagai pandangan orang modern terhadap keyakinan dan perilaku hidup masyarakat primitif.
3)        Agama dan Kepribadian oleh Sigmund Freud
Sigmund Freud (1856-1939) mengatakan bahwa agama adalah ilusi manusia di satu segi dan dari segi lain agama juga berfungsi untuk menimbulkan berbagai penyakit jiwa akibat banyak keinginan bawah sadar manusia yang dilarang oleh agama.
Menurut Sigmund Freud bimbingan dan pendidikan agama sangat berfungsi bagi pembentukan kepribadian seseorang. Pendidikan moral dan akhlak ini adlah upaya membekali ego-ideal dengan nilai-nilai luhur. Ego-ideal ini terbentuk oleh lingkungan baik di keluarga maupun masyarakat. Sedangkan peletak dasarnya adalah orang tua. Bahkan dalam ajaran Islam misalnya dikemukakan, bahwa setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang bertanggung jawab apakah anak itu (nantinya) akan menjadi yahudi, Nashrani atau Majusi (Hadis). Keberagamaan anak hampir sepenuhnya ditentukan oleh pengaruh orang tua. Inilah agaknya yang dikemukakan Sigmund Freud sebagai father image[4] (citra bapak), yang dimana pemahaman agama pada anak sangat tergantung  dari sikap dan perlakuan orang tua dalam menjalankan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga.
4)        Masyarakat Sebagai yang Sakral oleh Emile Durkheim
Emile Durkheim (1885-1917) mengemukakan esensi agama sebagai kehendak masyarakat itu sendiri. Karena itu, agama adalah ciptaan masyarakat, bahkan yang dipercayai sebagai Tuhan sebenarnya adalah masyarakat itu sendiri. Prinsip definisi Durkheim tentang agama adalah pada pembedaan antara yang sakral dan yang profan. Yang profan memang bisa menjadi sakral, tetapi melalui pengembangan upacara ritual. Karena metodenya harus seperti alam, Durkheim membantah definisi agama sebagai keyakinan kepada wujud spiritual atau kekuatan supernatural.
5)        Agama Sebagai Alienasi oleh Karl Marx
Menurut Karl Mark “Agama adalah kesadaran diri dan perasaan diri bagi manusia, ketika ia belum berhasil menemukan dirinya atau ketika ia sudah kehilangan dirinya. Namun manusia itu bukan suatu makhluk abstrak yang “bercokol” di luar dunia. Manusia adalah dunia manusia, negara, masyarakat negara, masyarakat itu menghasilakn agama, yang merupakan suatu kesadaran-terhadap -dunia yang tidak masuk akal, sebab negara, masyarakat itu merupakan suatu dunia yang tak masuk akal. Agama adalah teori umum tentang dunia itu (…) Ia adalah realisasi fantastis makhluk manusia, oleh karena makhluk manusia tidak memiliki realitas sejati (…) Kesengsaraan religius, di satu pihak adalah pernyataan daripada kesengsaraan nyata, dan di lain pihak, suatu protes terhadap terhadap kesengsaraan nyata itu. Agama adalah keluhan makhluk tertindas, jiwa suatu dunia yang tak terkalbu, sebagaimana ia merupakan roh suatu kebudayaan yang tidak mengenal roh. Agama adalah candu rakyat”.[5] Karl Mark (1818-1883) juga mengatakan bahwa agama sebagai alat bagi kelas borjuis untuk memeras kelas.
6)        Realitas yang Sakral oleh Mircea Eliade
Agama bukan hasil dari realitas yang lain, agama bukan suatu variabel dependen, seperti yang dikemukakan oleh ahli lain. Agama harus dipahami sebagai yang memengaruhi aspek-aspek kehidupan yang lain, sebagai variabel independen Agama tidak cukup dipahami seperti cara kerja sejarawan, tetapi juga harus dengan pendekatan dari dalam dan secara fenomenologis, penjelasan ini dikemukakan oleh Mircea Eliade.
Eliade adalah anak seorang pegawai dalam angkatan darat Rumania. Ia berpengetahuan luas, banyak pengalaman ilmiah luar negeri, dan juga penulis fiksi. Pada usia 18 tahun ia pemah merayakan penerbitan artikelnya yang ke-100 dengan kawan kawannya. Ia pernah berlatih Yoga dengan seorang guru di Himalaya dan pemah mengalami peristiwa transenden yang kemudian sering dirindukannya. Ia juga mengatakan bahwa ia percaya kepada independensi atau otonomi agama. Agama bukan penampilan dari ekonomi atau lainnya.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa pembicaraan mengenai pengaruh memengaruhi ini tidaklah spesifik mengungkap definisi agama, tetapi lebih dekat kepada pembahasan tentang teori. Namun, pendapatnya bahwa agama adalah sesuatu yang independen dan otonomi[6], tidak ada salahnya kalau pandangan Eliade diungkap dalam pembahasan tentang teori.
7)        Construct of Heart Masyarakat oleh E.E. Evans-Pritcard
Pandangannya tentang agama berbeda dengan pendapat-pendapat ahli lainnya, ia tidak mengemukakakn definisi agama secara eksplisit. Dalam menjelaskan agama, Evans-Pritchard mengungkap pandangannya tentang magi, menurutnya magi adalah kepercayaan bahwa beberapa aspek kehidupan dapat dikontrol atau direkayasa dengan kekuatan mistik atau kekuatan supernatural.[7] Magi atau ilmu sihir didasarkan kepada kepercayaan bahwa kegagalan itu karena adanya kekuatan lain yang memengaruhi hukum alam sehingga hukum alam itu tidak berlaku padanya, seperti kenapa suatu penyakit hanya menyerang dia. Evans-Pritchard mengatakan bahwa logika magi itu sangat cerdas dan tepat untuk menghadapi berbagai permasalahan sehari-hari. Evans-Pritchard membantah evolusi kepercayaan dari animisme, ke dinamisme, polyteisme, trinitas dan monoteisme.
8)        Agama Sebagai Sistem Budaya oleh Clifort Geertz
Agama dan kebudayaan tidak mungkin dipelajari dari luar (positivistik) seperti kita mempelajari benda-benda alam. Menurut Geertz, kebudayaan hanyalah konteks makna yang dipahami bersama atau “struktur arti yang mapan”[8], walaupun disadarinya pula bahwa simbol menduduki peran penting dalam kebudayaan.
Yang dimaksud Geertz mengenai agama sebagai sistem budaya adalah :
“(1) sebuah sistem simbol yang berlaku untuk (2) menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresap dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan (3) merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan (4) membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga (5) suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak khas dan realistik.”[9]
Agama merumuskan konsep tentang tatanan kehidupan yang umum, memberi suatu arti yang mutlak, suatu suatu tujuan pesanan yang besar pada dunia. Maka dalam agama pada suatu sisi berdiri konsepsi tentang dunia dan pada sisi lain berdiri serangkaian suasana hati dan motivasi yang dibimbing oleh ide-ide moral.

B.     Argumentasi Yang Dibangun Oleh Para Teoritis
1)        Animisme oleh E.B. Tylor
Tylor mengemukakan pembuktiannya bahwa agama mulai dengan Animisme. Menurut Tylor, Animisme adalah perlambangan dari suatu jiwa atau roh pada beberapa makhluk hidup dan objek bernyawa lainnya. Segala sesuatu hidup karena nyawa, roh atau jiwa, baik aktif maupun tidak aktif. Menurut Tylor, agama bersumber pada penggambaran dan personifikasi orang terhadap suatu roh, pada setiap makhluk dan objek-objek yang ada di sekelilingnya. Esensi agama digambarkan oleh Tylor sebagai kepercayaan kepada wujud spiritual dapat juga dipakaikan kepada agama besar dunia, seperti Islam, Kristen, Budha, dan Hindu, di samping agama primitif, apabila wujud spiritual juga diartikan mencakup kekuatan gaib. Kekuatan gaib dalam agama yang menjadi sentral dalam agama tersebut adalah Tuhan.
Berbagai macam kepercayaan tentang Tuhan, dari yang esa ke politeisme, dari yang menyatu dengan alam dan manusia (panteisme) ke yang jauh di atas langit, dari Yang Maha Kasih ke Yang Maha Bengis, dari yang menciptakan alam dengan kun fayakun (Ada! Maka jadi adalah ia) ke yang beremanasi menjadi alam, yaitu alam semesta memancar dari diri-Nya tahap demi tahap. Berbagai kepercayaan tentang Tuhan ini punya persamaan dan perbedaan. Perbedaan seperti yang baru saja diungkap. Persamaannya adalah sama-sama percaya kepada berkuasa dan berpengaruhnya wujud spiritual dalam kehidupan masyarakat yang memercayai-Nya.
Definisi Tylor di atas tidak mengesampingkan aspek empirik, hukum, dan jamaah dari agama. Namun, segala aktivitas dan upacara bersama dilakukan dalam rangka menyembah wujud spiritual itu. Dalam agama masyarakat primitif, aktivitas sehari-hari dikaitkan dengan pengharapan kepada anugerah ruh yang menguasai sesuatu yang dikerjakan dan selamat dari murkanya sehingga yang dikerjakan musnah atau tidak mendatangkan hasil. Dalam kepercayaan agama besar dunia juga demikian. Dalam agama Islam misalnya, kegiatan sehari-hari hendaknya dilakukan dalam rangka menyembah Allah. Demikian juga agama Hindu seperti yang disaksikan dalam kehidupan masyarakat Bali. Namun, keterkaitan kegiatan sehari-hari dengan yang gaib ini makin tipis dan makin kurang dengan makin kuatnya pengaruh sekularisme.
Definisi Tylor tentang agama tampak dilatarbelakangi dari perhatiannya kepada budaya masyarakat primitif. Dengan demikian, kepercayaan kepada materi seperti pandangan materialisme dan sekularisme bukanlah agama. Menjelaskan agama dari kepercayaan animisme menunjukkan juga pandangan bahwa agama dan beragama adalah urusan spiritual dan gaib. Kehidupan nyata, material dan rasional, apalagi banyak persoalan modern tidak ada hubungan dengan agama. Dengan sains, menurut Tylor, cara berpikir orang primitif itu dapat dikalahkan.
Karena pembahasan utamanya mengenai animisme, maka hal yang paling pokok adalah pada jiwa (soul) di mana orang-orang primitif sangat dipengaruhi oleh dua hal, yang pertama apakah yang menyebabkan manusia hidup dan mati, demikian juga yang menyebabkan manusia tidak sadar, bangun atau terjaga, sakit dan mati. Kedua, apa yang muncul pada waktu orang sedang tidur atau mimpi. Dari sini dia menyimpulkan adanya dua hal yang ada pada manusia yaitu kehidupannya dan bayangannya. Menurut Tylor, ‘soul’ adalah gambaran, bayangan dari manusia yang sangat lembut dan halus, seolah-olah uap. Soul ini dapat mempunyai kesadaran pribadi yang dapat meninggalkan jasad, soul juga tidak dapat dilihat, namun dapat menyebabkan daya kekuatan fisik dan dapat muncul pada saat manusia dalam keadaan bangun atau terjaga. Definisi atau batasan soul ini dapat digunakan untuk meneliti fenomena animisme pada semua bangsa.
2)        Magi oleh J.G. Frazer
J.G. Frazer mengartikan magi sebagai suatu sistem hukum alam atau seperti petunjuk yang sesat dan meyesatkan, ia adalah suatu ilmu yang palsu, suatu pengetahuan yang sudah gugur sebelum waktunya- an abortive art.[10] Menurut kepercayaan primitif, magi lebih luas artinya daripada sihir. Karena yang dikatakan magi dalam kepercayaan mereka adalah suatu cara berpikir dan suatu cara hidup yang mempunyai arti lebih tinggi daripada apa yang diperbuat oleh seorang ahli sihir sebagai perseorangan. Agama menurut Frazer, bukanlah kelanjutan dari kepercayaan magis tetapi merupakan tempat berangkat dari kepercayaan keagamaan. Frazer mengaitkan kepercayaan ini kepada sistem kekuasaan primitif, besar kemungkinan seorang ahli magi terbesar, kemudian yang jadi rajanya adalah pemuka agama tertinggi.  
3)        Agama dan Kepribadian oleh Sigmund Freud
Sigmud Freud (1856-1939) mengatakan bahwa agama adalah ilusi manusia di satu segi dan dari segi lain agama juga berfungsi untuk menimbulkan berbagai penyakit jiwa akibat banyak keinginan bawah sadar manusia yang dilarang oleh agama.
Sigmund Freud merumuskan sistem kepribadian menjadi tiga sistem, yang dinamai dengan id, ego dan super ego.[11] Ketiga sistem tersebut tersusun harmonis dalam diri seseorang yang jiwanya sehat. Sebaliknya apabila ketiga sistem tersebut saling bertentangan, maka orang tersebut dinamai sebagai orang yang tak dapat menyesuaikan diri. Ia merasa tidak puas dengan diri dan lingkungannya. Dengan kata lain, efesiensinya berkurang.
a)         Id (Das Es)
Id mempunyai fungsi menunaikan prinsip kehidupan asli manusia berupa penyaluran dorongan naluriah. Yang berarti id mengemban prinsip kesenangan, yang tujuannya untuk membebaskan manusia dari ketegangan dorongan naluri dasar : makan, minum, seks dan sebagainya.
b)        Ego (Das Es)
Ego merupakan sistem yang berfungsi menyalurkan dorongan id ke keadaan yang nyata. Freud menamakan misi yang diemban oleh ego sebagai prinsip kenyataan. Segala bentuk dorongan naluri dasar yang berasal dari id hanya dapat direalisasi dalam bentuk nyata melalui bantuan ego. Ego juga mengandung prinsip kesadaran.
c)         Super Ego (Das Uber Icb)
Sistem yang memiliki unsur moral dan keadilan, maka sebagian besar super ego mewakili alam ideal. Tujuan super ego membawa individu ke arah kesempurnaan sesuai dengan pertimbangan keadilan dan moral. Ia merupakan kode modal seseorang dan berfungsi pula sebagai pengawas tindakan yang dilakukan oleh ego. Super ego mempunyai dua anak sistem, yaitu ego ideal dan hati nurani.
4)        Masyarakat Sebagai yang Sakral oleh Emile Durkheim
Secara material, fisik atau kimiawi, hal-hal yang dipercayai sakral sama saja dengan yang lain yang tidak dipercayai sebagai yang sakral. Menurut Durkheim, manusia atau masyarakat yang memercayainya itu sajalah yang menjadikannya suci atau bertuah, tidak karena adanya sesuatu yang lain atau istimewa dalam benda tersebut. Anggapan atau kepercayaan sebagai yang suci ini datang dari subjek yang menganggap atau memercayainya, tidak pada objek yang dipercayai sebagai yang suci itu.
Suci atau sakral bukan sifat benda itu sendiri, tetapi diberikan oleh manusia atau masyarakat yang menyucikannya kepada benda yang disucikan. Oleh karena itu, suci adalah sifat pasif pada benda yang disucikan, bukan sifat aktif. Dalam bahasa Inggris, sifat pasif diungkap dengan kata kerja yang diberi akhiran ed sebagai tanda bentuk pasif, tidak akhiran ing sebagai tanda sifat aktif. A.S. Hornby dalam kamusnya tidak mengungkap sifat dalam bentuk lain dari sacred. Tidak ada kata sacral dan sacring dalam bahasa Inggris (Hornby 1984 : 749). Bahasa adalah sarana untuk mengungkapkan budaya dan pemikiran pemakainya. Dalam budaya dan pemikiran Barat rupanya tidak ada sifat suci yang sebenarnya ada pada benda suci. Yang ada hanya sifat pasif, sifat yang diberikan kepada benda, sehingga kesucian benda itu hanya kepercayaan dan anggapan manusia atau masyarakat yang menyucikannya saja.
Untuk mendapatkan trance atau fly, rasa khusyuk seperti dalam shalat, doa dan zikir, juga sering dilakukan secara bersama-sama atau berjamaah. Nyanyian rohani di gereja dilakukan oleh banyak orang yang juga untuk dapat merasakan kedekatan kepada Tuhan. Berbagai karya seni, seperti drama, sendra tari, koor, nyanyian klasik, marching band, yang dianggap tidak ada kaitan dengan agama dan upacara religi, juga dilakukan secara bersama. Untuk lebih dalam dan segera mendapatkan pengalaman tasawuf dalam Islam, berkembang berbagai macam aliran tarikat, seperti tarikat Naqsyabandiah, Rifa’iyah, Syaziliah, dan lainnya, yang merupakan komunitas dan organisasi yang solid dari tingkat daerah sampai ke tingkat internasional. Semuanya diperlukan oleh komunitas atau umat manusia karena manusia adalah makhluk sosial, zoon politicon.
5)        Agama Sebagai Alienasi oleh Karl Marx
Karl Mark (1818-1883) mengatakan agama sebagai alat bagi kelas borjuis untuk memeras kelas. Marx maupun Engels tidak mencurahkan perhatian khusus kepada kritik agama, karena bagi materialisme historis, agama hanya menyatakan keadaan radikal manusia yang menjadi korban sebuah ekonomi tak berperikemanusiaan, manusia yang terasing secara sosial. Maka agama akan lenyap begitu saja, segera setelah keadaan itu berakhir.
Kritik marxis tentang gagasan Allah serta agama sebenarnya terdiri dari penunjukkan apa yang secara konkret menjadi syarat-syarat timbulnya gagasan itu serta akibat-akibatnya yang merugikan. Agama-agama dan gagasan Allah SWT. di sini hanya dipandang sebagai fenomena-fenomena dan fakta-fakta yang perlu ditentukan sebab-sebab dan akibat-akibatnya. Di mana pun arti intern serta nilai kebenarannya tidak diteliti dan didiskusikan dalam dirinya sendiri. Sejak semula dia tinggal di bagian luar saja. Sebabnya ialah karena marxisme itu suatu materialisme dialektis dan historis.[12]
Materialisme dialektis : Pada hakekatnya materi berada di bawah pengaruh suatu ketegangan intern, yang tak henti-hentinya melompat dari suatu keadaan ke keadaan lain yang berlawanan, kemudian ke satu sintesa yang menyatukan pada sebuah tingkah lebih tinggi, sampai sintesa itu larut pada gilirannya untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi pula, dan tanpa pernah dapat menemukan keseimbangan yang definitif.
Selanjutnya materialisme historis : Dalam arti bahwa sejarah, sebagaimana  seluruh proses terjadinya supra-struktur-supra-struktur itu telah disyaratkan dan ditentukan oleh fenomena-fenomena dasar, yakni yang langsung berhubungan dengan kegiatan-kegiatan paling material, yaitu fenomena-fenomena ekonomis. Bagi marxisme manusia merupakan suatu hakekat yang menciptakan dirinya sendiri dengan menghasilkan sarana-sarana kehidupannya, maka adalah variasi-variasi cara, alat-alat serta hubungan-hubungan produksi yang secara radikal menjelaskan perubahan-perubahan sosial, politik dan kultural.
Alienasi mencapai titik puncaknya dalam kondisi proletaris sebagai hasil sistem kapitalis, tetapi justru dari proletariatlah akan timbul manusia baru. Kapitalisme yang di rongrong oleh suatu kontradiksi intern akan berantakan di depan musuh yang dilahirkannya sendiri lalu akan timbul masyarakat “tanpa kelas”, di mana semua pertentangan telah dihapus, di mana manusia akan merealisasikan seluruh kodratnya.
“Apabila masyarakat, dengan menguasai semua sarana produksi dan menggunakan secara metodis, telah membebaskan dirinya dan seluruh anggotanya dari perbudakan oleh sarana produksi yang sekarang berlaku, yang diciptakannya sendiri tetapi yang menentangnya sebagai suatu kekuatan asing yang lebih unggul, apabila manusia, karena tidak puas dengan hanya berpikir saja, akan memerintah, maka hanya ketika itulah akan lenyap kekuatan asing terakhir yang masih tercermin di dalam agama; dan dengan ituakan lenyap pula gejala agama itu sendiri, karena jelas bahwa lalu tidak ada lagi obyek-obyek yang perlu dicerminkan.”[13]
6)        Realitas yang Sakral oleh Mircea Eliade
Eliade mulai menjelaskan agama dengan membedakan antara kehidupan sakral dan kehidupan profan. Yang sakral itu aktivitas kehidupan yang disengaja, yang supematural, mengesankan, yang substansial dan penting; yang teratur, sempurna, tempat bersama leluhur, para pahlawan dan para dewa. Sebaliknya yang profan adalah yang biasa-biasa saja dalam kehidupan sehari-hari, yang berubah dan sering kacau. membosankan dan urusan “kecil”. Walaupun pemisahan yang sakral dan yang profan diambilnya dari Durkheim, tetapi esensinya bukan klan atau kehidupan sosial lagi, seperti diungkap Durkheim. Teorinya tentang yang sakral dekat dengan Tylor dan Frazer, yaitu supernatural, suatu keabadian, suatu realitas dan sesuatu yang agung. Yang sakral itu bukan sekadar pusat desa, tetapi pusat dunia (axis mundi) seperti yang dialami Nabi Ya’qub, yang disaksikan oleh para sufi dan dialami Nabi Muhammad ketika isra’ mi’raj. Di puncak-puncak bukit sering dibangun tugu sebagai tanda tempat sakral dan pusat bumi.
Eliade memuji agama purba yang kosmis yang penuh dengan sakralisasi alam dan kehidupan, serta merasakan kebahagiaan dalam kembali ke asal, tidak mau tunduk dalam ikatan sejarah. Semua pengalaman keagamaan ini pernah dialaminya, dengan arti dibuktikannya sendiri, di India. Ini berbeda dengan kebudayaan Eropa dan Amerika modern yang ingin mcnghilangkan aspek sakral dalam kehidupan, ingin hidup dalam dimensi ruang dan waktu yang terbatas, dalam sejarah yang penuh penderitaan dan kehampaan. Modernisme membelenggu manusia dalam sejarah sehingga mereka juga penganut paham historisisme. Kecenderungan ini adalah karena pengaruh ajaran Yudeo-Kristen. Namun, mereka tidak dapat lepas dari kehidupan sakral. Kesakralan tersebut mereka alami dalam even-even atletik, drama, seni yang mampu mengangkat emosi mereka saat menontonnya.
Walaupun Eliade telah berusaha menyelami agama-agama dari pandangan orang dalam dan tampak membela kepercayaan yang dianggap simbolis, mitos, sakral, tetapi Eliade tidak mampu maju lebih jauh dengan contoh agama lain, seperti  agama Islam yang mengajarkan bahwa satu~satunya tujuan hidup adalah untuk menyembah Allah (QS AI-Dzariyat : 57) lslam mengajarkan tidak ada pemisahan antara yang sakral dan profan bahkan mengajarkan hendaknya kegiatan sehari-hari pun supaya disakralkan, dilakukan karena karena ikhlas kepada Allah dan dalam rangka beribadat kepadanya.[14]
7)        Construct of Heart Masyarakat oleh E.E. Evans-Pritcard
Pandangannya tentang agama berbeda dengan pendapat-pendapat ahli lainnya, ia tidak mengemukakakn definisi agama secara eksplisit. Analisisnya tentang agama ia dapatkan dari hidup Bersama suku Azande selama dua tahun dan suku Nuer selama enam tahun di Sudan. Evans-Pritchard memandang bahwa seseorang tidak akan dapat memahami agama atau aspek kebudayaan apa pun dari suatu masyarakat tanpa menempatkan objek studi itu dalam konteks kebudayaan dari masyarakat yang diteliti secara komprehensif. Perbedaan masyarakat primitif dan modern bukan terletak pada bodoh atau tidaknya, tetapi terletak pada lautan kebudayaan masing-masing yang berbeda. Ia mengkritik pendapat-pendapat yang mengatakan agama dan magi adalah cara berpikir pralogis dan irasional, sedangkan sains adalah cara berpikir yang logis dan rasional.
Menurutnya, agama bangsa primitif juga monoteisme. Pada suku Nuer walaupun mereka percaya kepada banyak ruh, ada ruh di atas ada ruh di bawah atau di bumi, tetapi pemikiran mereka yang pertamayang paling utama tertuju kepada  Tuhan Yang Esa yang mereka kenal dengan Kwoth Nhial[15] (Tuhan yang tanpa pamrih mencintai makhluk manusia ciptaan-Nya dan selalu hadirdalam kehidupan mereka). Menurut Evans-Pritchard, orang primitif biasanya tidak mengungkapkan sesuatu dengan pengertian denotatif sebagiamana yang diucap, tetapi banyak yang kiasan dan konotatif.
Evans-Pritchard mencoba memahami agama dari cara penganutnya sendiri, menggunakan pendekatan fenomenologis. Penilaian ini menunjukkan bahwa Eliade dan Evans-Pritchard sepenuhnya membenarkan agama primitif seperti agama atau kehidupan masyarakat yang dilihatnya akan tetapi, pembenaran ini, sebagaimana diungkapkannya, cocok dengan lautan budaya masyarakat yang bersangkutan.
8)        Agama Sebagai Sistem Budaya oleh Clifort Geertz
Clifford Geertz juga pembela pendekatan fenomenologis. Dalam mengkaji agama dan kebudayaan, ia menamakan pendekatannya dengan interpretatif. Ia juga mengungkap pendekatannya sebagai deskripsi mendalam (thick description). Antropologi menurutnya harus menjelaskan secara detail makna dari Gerakan atau suatu simbol yang biasa berbeda dari penampilannya. Menurut Geertz, kebudayaan hanyalah konteks makna yang dipahami bersama atau “struktur arti yang mapan”, walaupun disadarinya pula bahwa simbol juga menduduki peran penting dalam kebudayaan. Karena yang dicari adalah interpretasi atau makna suatu penampilan budaya, maka antropologi menurutnya tidak akan dapat menemukan suatu kaidah atau teori universal. Antropologi hanya sains interpretatif, sains yang mencari makna.
Simbol mengandung arti luas yang dipakai untuk apa saja yang memiliki arti yang lain bagi orang lain. Yang di maksud simbol oleh Geertz adalah sesuatu yang konkret atau dapat diinderai yang merupakan rumusan dari pandangan atau abstraksi pengalaman. Simbol adalah perwujudan konkret dari gagasan, sikap, putusan, kerinduan atau keyakinan masyarakat yang bersangkutan. Ajaran agama menurut Geertz diungkap dalam bentuk simbol-simbol.[16]
Dari penelitiannya terhadap masyarakat Islam, Geertz menyaksikan fungsi agama yang positif terhadap kehidupan, yaitu mendatangkan suasana hati yang mantap dan motivasi yang kuat serta tahan lama untuk mencapai tujuan hidup yang diajarkan agama, seperti untuk mancapai keridhaan Allah.

C.    Bukti Yang Diangkat Oleh Para Teoritis
1)        Animisme oleh E.B. Tylor
Dengan pembuktiannya bahwa agama mulai dengan Animisme, dapat diketahui dalam urainnya mengenai agama dalam pengalaman seorang Negro[17] yang dikutipkan sebagai berikut :
He was going out to important business, but crossing the threshold he trod on this stone and hurt himself. Ha! ha! thought he, art thou there ? So he took the stone, and it helped him through his undertaking for days.
Karena itu, menurut Tylor, agama adalah kepercayaan orang terhadap adanya suatu hubungan antara dirinya sendiri dengan roh-roh yang dianggap memiliki, menguasai dan ada di mana-mana memenuhi alam semesta ini.
2)        Magi oleh J.G. Frazer
Magi dikembangkan dengan harapan dapat memengaruhi proses alam sehingga menguntungkan manusia. Supaya hujan tidak turun pada suatu perhelatan, banjir tidak datang, gunung tidak meletus, digunakan kekuatan magi oleh orang ahli magi yang biasanya kepala suku. Kerja ahli magi yang mirip dengan tukang sihir berusaha memaksa kekuatan alam menurut yang dikehendakinya dengan mantra dan jampi-jampi. Akan tetapi, tatkala mantra magis untuk mengendalikan gejala alam sudah tidak ampuh, supaya masyarakat primitif dapat bertahan hidup. mereka menggunakan agama.
3)        Agama dan Kepribadian oleh Sigmund Freud
Sigmund Freud sebagai father image (citra bapak), yang dimana pemahaman agama pada anak sangat tergantung  dari sikap dan perlakuan orang tua dalam menjalankan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga. Citra bapak mempakan patron (pola) bagi anak dalam pembentukan dasar-dasar keagamaan dalam dirinya bila dalam beragama bapak dapat menampilkan sikap lemah lembut dan penuh kasih sayang, maka anak-anak akan mengintemalisasi nilai-nilai agama juga seperti itu. Sebaliknya bila penampilan sang bapak terkesan sangar, aruk-anak akan mengidentiflkasikan agama sebagai aiaran yang penuh dengan "kekejaman". Dengan demikian, pemahaman agama pada anak sangat tergantung dari sikap dan perlakuan omng tua dalam menjalankan ajaran agama dalam kehidupan sehad-hari di rumah tangga.
4)        Masyarakat Sebagai yang Sakral oleh Emile Durkheim
Durkheim menekankan kepemilikan bersama terhadap yang sakral. Penganut agama yang sama harus memperlakukannya sedemikian rupa. Dengan demikian, yang sakral itu milik bersama, dan lebih jauh merupakan sarana pemersatu komunitas yang bersangkutan. Demikian juga hal-hal yang sakral pada agama lain. Ia adalah alat pemersatu penganut agama tersebut. Bahkan yang sakral itu dianggap sebagai binatang atau tumbuhan pemersatu karena dipercayai bahwa mereka berasal dari hewan yang sama, seperti dari sapi atau kera. Hewan itu dipuja karena mereka meyakini sebagai nenek moyang atau asal-usul mereka. Binatang ini dinamakan dengan binatang totem. Binatang totem tidak boleh disembelih, kecuali dengan upacara ritual dan pada hari tertentu. Menurut Durkheim, kepercayaan kepada binatang totem adalah bentuk awal dari kepercayaan religius. Jadi, agama-agama besar dunia yang berkembang kemudian, menurut Durkheim, pada prinsipnya adalah perkembangan kepercayaan bahwa suatu klan berasal dari binatang atau tumbuhan tertentu.
Pandangan asal-usul kepercayaan beragama dari kepercayaan kepada hewan totem ini tampak merupakan suatu sikap penyederhanaan yang keterlaluan (simplifikasi) yang berasal dari teori evolusi Darwin. Penganut agama samawi tentu tidak mau menerima teori Durkheim ini. Akan tetapi, karena Durkheim menganut positivisme ilmiah atau paradigma social facts dalam pengembangan ilmu sosial, ia tidak mau mendengar suara pengemban kepercayaan kepada agama yang bersangkutan. Fenomena sosial, termasuk fenomena sosial keagamaan, menurutnya, harus consider social facts as things, menganggap fakta sosial sebagai benda, peneliti harus menjaga jarak, tidak boleh berempati dengan objek yang ditelitinya.
Upacara ritual juga tidak ada tanpa dilakukan oleh banyak atau beberapa orang. Tarian mistik dalam rangka pemujaan kepada ruh nenek moyang, dalam rangka memuja hewan totem, atau dalam rangka mengusir ruh jahat pada masyarakat primitif dilakukan oleh banyak orang. Keterlibatan banyak orang dalam suatu upacara tertentu adalah ciri khas upacara keagamaan atau berbagai aliran kepercayaan. Peraturan, norma, hukum dalam suatu masyarakat dan komunitas tertentu, atau apa yang dinamakan dengan way of life adalah juga pemersatu di kalangan masyarakat dan komunitas yang bersangkutan.
Karena itu, Emile Durkheim (1965) dan Roger Caillois (1959) menujukan perhatian dalam mengamati kehidupan beragama kepada kesatuan penganut agama atau integritas sosial. Ketika mengamati binatang totem, ritual, benda-benda yang sakral, keduanya sampai ke kesimpulan bahwa semuanya itu untuk memperkuat solidaritas sosial. Bahkan kesimpulannya terlalu jauh dengan mengatakan bahwa agama diciptakan oleh masyarakat yang bersangkutan dan yang dipercayai sebagai Tuhan sebenarnya adalah masyarakat itu sendiri.
5)        Agama Sebagai Alienasi oleh Karl Marx
Jika manusia merasakan kebutuhan untuk mengandaikan suatu hakekat yang menjadi pegangan dan yang mengisi kekurangannya, maka itu disebabkan karena ia tidak menemukan dalam dirinya realitasnya yang penuh dan rasionalitasnya yang sejati. Marxisme berpretensi untuk menerangkan kesadaran ini dengan faktor-faktor ekonomis : sifat non-rasionil dari eksistensi, absurditas dari kondisi-kondisi konkret kehidupan, kekacauan produksi. Pembagian kerja yang sebenarnya perlu telah menimbulkan pembagian dan penentangan kelas-kelas : penduduk kota dan para petani, yang memerintah dan yang diperintah, pekerja intelektual dan pekerja kasar, kaum borjuis dan kaum proleter merupakan sekian banyak dunia yang masing-masing membiarkan di luar mereka segala kekayaan manusiawi yang dimiliki oleh golongan antagonisnya.
Masyarakat tidak dirasakannya sebagai semacam realitas batin, sebagai kondisi yang terpenting untuk perkembangannya; kepentingan masyarakat tidak jatuh bersamaan  dengan kepentingan sendiri. Baginya masyarakat Nampak sebagai suatu kekuatan lahir yang asing bagi eksistensi konkretnya, yaitu berupa : Negara.
6)        Realitas yang Sakral oleh Mircea Eliade
Dalam kehidupan keagamaan di masyarakat mana pun kita juga selalu menyaksikan simbol, mitos dan ritual. Kebanyakan yang kita saksikan dan alami sehari-hari bersifat profan. Akan tetapi, semua yang profan itu dapat kita alami sebagai yang sakral tergantung kepada manusia yang mengalaminya. Simbol dan mitos mampu membangkitkan imajinasi, kehendak, emosi dan kehidupan bawah sadar untuk melihat yang ada di balik alam natural. Langit, air, udara, batu, bulan, dan lainnya merupakan simbol-simbol yang mengandung makna keluasan, perubahan, kekuasaan, kekaguman yang selanjutnya mengandung aspek supranatural. Bagi budaya animisme, semuanya itu punya jiwa atau ruh yang sakral. Mitos adalah cerita untuk memperdekat dunia supernatural ke dunia natural.
Mitos penuh dengan cerita-cerita tentang yang sakral yang mendekatkan kehidupan supernatural yang ilahi ke dalam kehidupan nyata manusia. Hewan atau pohon totem hanya sekadar binatang atau pohon biasa dalam pandangan orang lain, tetapi bagi yang memercayainya dihayati sebagai yang sangat sakral, sangat bernilai dan penting. Ka’bah, contohnya, adalah suatu objek yang profan. Akan tetapi, kaum Muslimin menyaksikannya sebagai objek yang sakral. Al-Qur'an hanya dipandang sebagai buku yang terbuat dari kertas dan bertuliskan huruf Arab seperti kitab-kitab lain dalam pandangan orang yang tidak menghayati kesakralan dan memahami isinya. Demikian seterusnya, suatu objek atau benda sangat bernilai bagi yang menghayati kesakralannya dan dipandang biasa, natural, bagi yang tidak menghayati kesakralannya.[18]
7)        Construct of Heart Masyarakat oleh E.E. Evans-Pritcard
Evans-Pritcard memahami agama dari cara penganutnya sendiri, suatu pendekatakn fenomenologis. Ia mengkritik pendekatan intelektualis yang dimulai dengan statemen “Andai aku seekor kuda”[19]. Artinya mereka ingin memahami agama dan kebudayaan lain, terutama yang primitif, dengan kerangka pikiran modern mereka.
8)        Agama Sebagai Sistem Budaya oleh Clifort Geertz
Menurut Geertz antropologi tidak pernah sepenuhnya bersifat prediktif, bersifat teori dan penjelasan kausalitas. Geertz melakukan penelitian mengenai agama dan kebudayaan di Jawa dan Bali, tidak seperti suku Nuer atau Azande yang diteliti oleh Evans-Pritchard, ia memandang bahwa masyarakat juga dibentuk oleh agamanya. Agama ditemukannya punya pengaruh dalam setiap pojok dan celah kehidupan Jawa.
Dalam menjelaskan Islam di Jawa, menurutnya terbagi kepada kelompok abangan (golongan petani pedesaan yang banyak dimasuki unsur kepercayaan agama Hindu daan Jawa Kuno), santri (Para saudagar di daerah pantai dan perkotaan yang melaksanakan ajaran agama secara ketat, cenderung kepada pemurnian) dan priayi (golongan pegawai negeri dan bangsawan Jawa mengamalkan Islam sinkretik dengan agama Hindu, Budha dan Islam). Polarisasi ini mengundang banyak kritik, karena ketidakmampuannya dalam membedakan mana yang agama dan mana yang bukan agama pada agama priyayi. Demikian juga konsep abangan tidak harus di temukan di kalangan petani miskin, petani di pedesaan bisa juga jadi santri yang ditandai dengan ketat menjalankan rukun Islam. Selain itu Geertz juga melakukan studi lapangan di Maroko sehingga dibandingkan dengan studinya tentang Islam di Jawa dan Bali.[20]
            


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
            Kesimpulan secara keseluruhan yang dapat diambil dari pembahasan diatas bahwa dari definisi, teori dan penjelasan tentang agama yang diungkap di atas terlihat pula ada ahli antropologi yang menujukan perhatian kepada asal-usul agama. Asal-usul agama dari Tuhan tentu tidak empirik, tidak dapat dibuktikan Yang dapat dibuktikan adalah kondisi psikologis manusia yang diliputi ketidaktahuan dan kecemasan menghadapi gejala alam. Karena itu, ada ahli antropologi yang memberikan definisi agama sebagai pelarian manusia yang lemah memahami kedasyatan alam semesta, lemah mengendalikan alam, lemah menata kehidupan bersama, atau lemah mendapatkan bahagia daiam kehidupan sehingga mereka menyandarkan kelemahan mereka dengan berpegang kepada yang gaib.
Walaupun tinjauan dari asal-usul beragama yang digali dari kondisi psikologi manusia ini mengandung kebenaran tetapi implikasinya meniadakan agama setelah manusia menjadi kuat dengan ilmu pcngetahuan dan teknoioginya, Ini pandangan modemisme yang menckankan aspek kemajuan fisik. Akan tetapi, pengalaman manusia yang hanya menekankan aspek fisik dan ekonomi menunjukkan mereka terperangkap pula kepada krisis identitas, krisis nilai kehidupan, dan kegersangan spiritual sehingga banyak yang lari ke aliran-aliran pemujaan.
Jadi, definisi dengan tinjauan asal-usul psikologis dari kecenderungan manusia beragama dapat pula dipahami kebenarannya, sehingga untuk tercapainya kebahagiaan, manusia tidak hanya membutuhkan sarana fisik dan material, tetapi juga nilai-nilai spiritual yang sulit dimmuskan dengan kemampuan akal dan metode ilmiah saja.
Sehubungan dengan pandangan apakah agama bagian dari kebudayaan atau sebaliknya, maka akan ada tiga macam definisi tentang agama yaitu: (1) Agama bagian dari kebudayaan manusia. Agama didefinisikan biasanya merupakan upacara-upacara ritual, hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya. Pandangan jenis ini dipengaruhi oleh angan sosiologis yang mendikotomikan kehidupan kepada upacara ritual dengan aktivitas sehari-hari yang profan, antara hubungan vertikal dengan hubungan horizontal. Definisi kelompok ini bersifat sekular dan membatasi ruang gerak agama di rumah-rumah ibadat dan yang berhubungan dengan yang gaib serta urusan pribadi saja. (2) Agama mempakan fenomena budaya yang berhubungan dengan yang gaib yang menyusup ke aspek-aspek budaya yang lain. Walaupun yang gaib itu dipahami sebagai kreasi manusia, tetapi sebagai agama dia mewamai, memengaruhi atau ikut membentuk aspek kebudayaan yang lain, seperti ilmu, teknologi, ekonomi, politik, seni, dan lain sebagainya. (3) Agama adalah wahyu Tuhan dan interpretasi pemukanya yang mencakup atau mengarahkan segenap aspek budaya, sehingga agama melahirkan kebudayaan, bukan sebaliknya kebudayaan yang melahirkan agama.

B.     Saran
Dengan dibuatnya makalah ini semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca dan saya selaku pembuat makalah. Serta dengan dibuatnya makalah, saya meminta saran kepada para pembaca untuk mengoreksi apabila ada kesalahan dalam sistematika penulisan dan isi pembahasan pada makalah.



DAFTAR PUSTAKA

Agus, B. (2007). Agama Dalam Islam Kehidupan Manusia (Pengantar Antropologi Agama). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Jalaluddin. (2010). Psikologi Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Leahy, L. (1990). Masalah Ketuhanan dewasa ini. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Zakiah Daradjat, d. (1996). Perbandingan Agama 1. Jakarta: Bumi Aksara.
 







[1] Zakiah Daradjat, Perbandingan Agama (Jakarta : Bumi Aksara), hlm. 24.
[2] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia (Pengantar Antropologi Agama) (Jakarta : Penerbit PT RajaGrafindo Persada), hlm. 120.
[3] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia (Pengantar Antropologi Agama) (Jakarta : Penerbit PT RajaGrafindo Persada), hlm. 126.
[4] Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta : Penerbit PT RajaGrafindo Persada), hlm. 219.
[5] Louis Leahy, Masalah Ketuhanan dewasa ini (Jakarta : Penerbit Kanisius), hlm. 96.
[6] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia (Pengantar Antropologi Agama) (Jakarta : Penerbit PT RajaGrafindo Persada), hlm. 131.
[7] Ibid, hlm. 213.
[8] Ibid, hlm. 143.
[9] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia (Pengantar Antropologi Agama) (Jakarta : Penerbit PT RajaGrafindo Persada), hlm. 144.
[10] Zakiah Daradjat, Perbandingan Agama (Jakarta : Bumi Aksara), hlm. 118.
[11] Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta : Penerbit PT RajaGrafindo Persada), hlm. 212.
[12] Louis Leahy, Masalah Ketuhanan dewasa ini (Jakarta : Penerbit Kanisius), hlm. 94.
[13] Louis Leahy, Masalah Ketuhanan dewasa ini (Jakarta : Penerbit Kanisius), hlm. 94.
[14] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia (Pengantar Antropologi Agama) (Jakarta : Penerbit PT RajaGrafindo Persada), hlm. 134.
[15] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia (Pengantar Antropologi Agama) (Jakarta : Penerbit PT RajaGrafindo Persada), hlm. 138.
[16] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia (Pengantar Antropologi Agama) (Jakarta : Penerbit PT RajaGrafindo Persada), hlm. 145.
[17] Zakiah Daradjat, Perbandingan Agama (Jakarta : Bumi Aksara), hlm. 28.
[18] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia (Pengantar Antropologi Agama) (Jakarta : Penerbit PT RajaGrafindo Persada), hlm. 133.
[19] Ibid, hlm. 140.
[20] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia (Pengantar Antropologi Agama) (Jakarta : Penerbit PT RajaGrafindo Persada), hlm. 143. 










Next Post Previous Post

Pages