Makalah Konsep Teori Agama, Argumentasi Dan Bukti Yang Dikemukakan Oleh Para Teoritis (Studi Agama-agama)
Makalah mengenai Konsep Teori Agama, Argumentasi Dan Bukti Yang Dikemukakan Oleh Para Teoritis pada mata kuliah Studi Agama-agama
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Agama merupakan salah satu aspek
yang paling penting daripada aspek-aspek budaya yang dipelajari oleh para
antropolog dan para ilmuwan sosial lainnya. Di dalam agama, dijumpai ungkapan
materi budaya dalam tabiat manusia serta dalam sistem nilai, moral dan etika.
Agama itu saling pengaruh-mempengaruhi dengan sistem organisasi kekeluargaan,
perkawinan, ekonomi, hukum dan politik. Maka beragama merupakan kebutuhan bagi
manusia.
Dalam kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap
keyakinan adanya kekuatan ghaib, luar biasa atau supernatural yang berpengaruh
terhadap kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam.
Kepercayaan itu menimbulkan perilaku tertentu, seperti berdo’a, memuja dan
lainnya yang dapat menimbulkan sikap mental tertentu. Berbicara mengenai
kehidupan beragama tentu berbicara mengenai suatu subjek yang melakukannya
yaitu, manusia. Dalam beragama tentu terdapat perilaku-perilaku tersendiri yang
dilakukan oleh manusia, perilaku-perilaku yang akan diteliti oleh para
antropolog inilah yang akan menjerumus kedalam permasalahan kajian dalam agama.
Maka, dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai permasalahan kajian dalam
agama melalui teori teori yang dikemukakan oleh para teoritis mengenai agama.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas maka rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Dengan konsep apa teori agama itu dimulai ?
2.
Apa argumentasi yang dibangun oleh
masing-masing teoritis itu ?
3.
Apa bukti yang diangkat oleh teori itu ?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan
Penulisan Makalah ini adalah :
1.
Mengetahui konsep teori agama oleh para
teoritis.
2.
Mengetahui argumentasi yang dibangun oleh para
teoritis.
3.
Mengetahui bukti yang diangkat pada teori yang
dikemukakan oleh para teoritis.
D.
Manfaat Penulisan
Supaya saya
dan para pembaca dapat mengetahui serta memahami konsep teori agama,
argumentasi yang dibangun dan bukti yang diangkat pada suatu teori yang
dikemukakan oleh para teoritis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Teori Agama Oleh Para Teoritis
Animisme dalam filsafat adalah doktrin yang
menempatkan asal mula kehidupan mental dan fisik dalam suatu energi yang lepas
atau sekurang-kurangnya berbeda dari jasad.[1] Sedangkan
dalam pandangan Sejarah Agama ialah kepercayaan terhadap makhluk-makhluk
spiritual yang erat sekali hubungannya dengan tubuh atau jasad. Salah satu
seorang teoritis yaitu Tylor seorang Inggris yang ahli folklor, sastra dan
peradaban Yunani dan Romawi klasik. Ia akhirnya tertarik kepada ilmu arkeologi
dan tulisan etnografi karena ikut berkelana dengan keluarganya ke Afrika dan
Asia.
Dari kajian tentang religi dan agama manusia,
ia memandang asal mula agama adalah sebagai kepercayaan kepada wujud spiritual
(a belief in spiritual being).[2] Agama
digambarkan sebagai kepercayaan kepada adanya ruh gaib yang berpikir, bertindak
dan merasakan sama dengan manusia. Kepercayaan kepada yang gaib dalam agama
punya asal-usul dari kepercayaan animisme dan dinamisme masyarakat primitif.
Segala sesuatu di alam ini dipercayai punya ruh atau jiwa. Kepercayaan kepada
ruh atau jiwa ini karena masyarakat primitif menyadari perbedaan antara hidup
dan mati dan adanya peristiwa mimpi. Makhluk hidup bergerak-gerak, dan yang
telah mati tidak bergerak lagi. Ketika mimpi, manusia merasakan berada pada
alam lain, sedangkan jasmaninya tetap di tempat tidur.
Jiwa yang telah lepas dari tubuh setelah mati
dinamakan dengan spirit. Ketika masih hidup, berada dalam jasmani dan dinamakan
dengan soul. Ruh-ruh yang telah berpisah dari jasad itu, menurut kepercayaan
masyarakat primitif, menempati alam sekeliling manusia dan dapat berbuat
hal-hal yang tidak dapat diperbuat manusia hidup. Dengan demikian, ruh-ruh itu
mendapat tempat yang sangat panting dalam kehidupan mereka dan mendapat
penghormatan dan penyembahan dalam bentuk sesajen, doa, korban dan lainnya.
Religi seperti inilah yang disebutnya dengan animisme.
Kemudian kepercayaan kepada ruh itu berevolusi
menjadi kepercayaan kepada dewa-dewa alam yang berada di belakang setiap
peristiwa alam. Selanjutnya kepercayaan kepada dewa-dewa alam ini berevolusi
seiring dengan adanya konsep negara dalam kehidupan manusia, menjadi berbagai
pangkat dewa yang akhirnya ada yang tertinggi, yaitu satu raja dewa, sehingga
sampai kepada kepercayaan monoteisme. Akan tetapi, semuanya punya kesamaan,
yaitu percaya kepada wujud spiritual. Agama digambarkan sebagai kepercayaan
kepada adanya ruh gaib yang berpikir, bertindak dan merasakan sama dengan
manusia. Dengan demikian, ia juga penganut aliran evolusi dalam memahami
kebudayaan manusia.
Dalam tahapan kedua mengenai evolusi religi,
manusia percaya bahwa semua fenomena alam yang bergerak adalah disebabkan oleh
spirit dan kemudian dipersonifikasi sebagai makhluk-makhluk atau
pribadi-pribadi yang mempunyai kemauan, pikiran dan kehendak. Kemudian dalam
tahapan ketiga evolusi religi, bertautan dan berjalan dengan perkembangan suatu
masyarakat yang terwujud dalam susunan dan tata pemerintahan. Pendapat-pendapat
dan konsep maupun teori Tylor ini kemudian tidak dapat bertahan, karena
ternyata evolusi klasik dihadapkan pada suatu suasana sosial dimana di Barat
sendiri, perkembangan masyarakat secara mekanis bergerak ke arah kemajuan yang
menyeluruh.
2)
Magi oleh J.G. Frazer
Magi berasal dari Bahasa Persia, maga
yang barangkali berarti iman atau pendeta untuk agama Zoroaster, yang bertugas
mengembangkan dan memelihara kelestarian agama dualisme dan juga memimpin
segala upacara agama. Magi dikatakan juga sangat erat hubungannya dengan sihir.
Honig menyamakan arti kedua kata ini, magi sama dengan sihir. Salah satu
teoritis yaitu J.G. Frazer seorang pengagum atau murid Tylor berasal dari
Skotlandia. Dia membedakan religi dengan magi yang sama-sama cocok bagi
masyarakat yang masih berpikir pralogis. Sedangkan sains cocok bagi masyarakat
modern yang sudah berpikir logis, Ia juga tidak mengemukakan definisi agama
secara spesifik.
Magi dikembangkan dengan harapan dapat
memengaruhi proses alam sehingga menguntungkan manusia. Supaya hujan tidak
turun pada suatu perhelatan, banjir tidak datang, gunung tidak meletus,
digunakan kekuatan magi oleh orang ahli magi yang biasanya kepala suku. Kerja
ahli magi yang mirip dengan tukang sihir berusaha memaksa kekuatan alam menurut
yang dikehendakinya dengan mantra dan jampi-jampi. Akan tetapi, tatkala mantra
magis untuk mengendalikan gejala alam sudah tidak ampuh, supaya masyarakat
primitif dapat bertahan hidup. mereka menggunakan agama.
Agama menekankan bahwa gejala alam dikuasai
oleh kekuatan supernatural. Karena itu, perilaku orang beragama adalah berdoa,
memohon belas kasihan, berharap dengan sepenuh hati, kepada kekuatan
supernatural itu. Oleh karena itu, esensi agama, dalam pandangan Frazer, adalah
ketergantungan atau kepercayaan kepada kekuatan supernatural.[3] Selanjutnya
ketika peran agama telah lemah klan memudar, tampil sains yang dikatakan
sebagai magi tanpa kesalahan. Frazer dipengaruhi oleh perhatiannya kepada
kehidupan masyarakat primitif. Dengan demikian, pandangannya terhadap agama
juga sebagai pandangan orang modern terhadap keyakinan dan perilaku hidup
masyarakat primitif.
3)
Agama dan Kepribadian oleh Sigmund Freud
Sigmund Freud
(1856-1939) mengatakan bahwa agama adalah ilusi manusia di satu segi dan dari
segi lain agama juga berfungsi untuk menimbulkan berbagai penyakit jiwa akibat
banyak keinginan bawah sadar manusia yang dilarang oleh agama.
Menurut
Sigmund Freud bimbingan dan pendidikan agama sangat berfungsi bagi pembentukan
kepribadian seseorang. Pendidikan moral dan akhlak ini adlah upaya membekali
ego-ideal dengan nilai-nilai luhur. Ego-ideal ini terbentuk oleh lingkungan
baik di keluarga maupun masyarakat. Sedangkan peletak dasarnya adalah orang
tua. Bahkan dalam ajaran Islam misalnya dikemukakan, bahwa setiap bayi
dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang bertanggung
jawab apakah anak itu (nantinya) akan menjadi yahudi, Nashrani atau Majusi
(Hadis). Keberagamaan anak hampir sepenuhnya ditentukan oleh pengaruh orang
tua. Inilah agaknya yang dikemukakan Sigmund Freud sebagai father image[4] (citra bapak), yang dimana pemahaman agama
pada anak sangat tergantung dari sikap
dan perlakuan orang tua dalam menjalankan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari
di rumah tangga.
4)
Masyarakat Sebagai yang Sakral oleh Emile
Durkheim
Emile Durkheim
(1885-1917) mengemukakan esensi agama sebagai kehendak masyarakat itu sendiri.
Karena itu, agama adalah ciptaan masyarakat, bahkan yang dipercayai sebagai
Tuhan sebenarnya adalah masyarakat itu sendiri. Prinsip definisi Durkheim
tentang agama adalah pada pembedaan antara yang sakral dan yang profan. Yang
profan memang bisa menjadi sakral, tetapi melalui pengembangan upacara ritual.
Karena metodenya harus seperti alam, Durkheim membantah definisi agama sebagai
keyakinan kepada wujud spiritual atau kekuatan supernatural.
5)
Agama Sebagai Alienasi oleh Karl Marx
Menurut Karl
Mark “Agama adalah kesadaran diri dan perasaan diri bagi manusia, ketika ia
belum berhasil menemukan dirinya atau ketika ia sudah kehilangan dirinya. Namun
manusia itu bukan suatu makhluk abstrak yang “bercokol” di luar dunia. Manusia
adalah dunia manusia, negara, masyarakat negara, masyarakat itu menghasilakn
agama, yang merupakan suatu kesadaran-terhadap -dunia yang tidak masuk akal, sebab
negara, masyarakat itu merupakan suatu dunia yang tak masuk akal. Agama adalah
teori umum tentang dunia itu (…) Ia adalah realisasi fantastis makhluk manusia,
oleh karena makhluk manusia tidak memiliki realitas sejati (…) Kesengsaraan
religius, di satu pihak adalah pernyataan daripada kesengsaraan nyata, dan di
lain pihak, suatu protes terhadap terhadap kesengsaraan nyata itu. Agama adalah
keluhan makhluk tertindas, jiwa suatu dunia yang tak terkalbu, sebagaimana ia
merupakan roh suatu kebudayaan yang tidak mengenal roh. Agama adalah candu
rakyat”.[5] Karl Mark (1818-1883) juga mengatakan bahwa agama
sebagai alat bagi kelas borjuis untuk memeras kelas.
6)
Realitas yang Sakral oleh Mircea Eliade
Agama bukan hasil
dari realitas yang lain, agama bukan suatu variabel dependen, seperti yang
dikemukakan oleh ahli lain. Agama harus dipahami sebagai yang memengaruhi
aspek-aspek kehidupan yang lain, sebagai variabel independen Agama tidak cukup
dipahami seperti cara kerja sejarawan, tetapi juga harus dengan pendekatan dari
dalam dan secara fenomenologis, penjelasan ini dikemukakan oleh Mircea Eliade.
Eliade adalah
anak seorang pegawai dalam angkatan darat Rumania. Ia berpengetahuan luas,
banyak pengalaman ilmiah luar negeri, dan juga penulis fiksi. Pada usia 18
tahun ia pemah merayakan penerbitan artikelnya yang ke-100 dengan kawan
kawannya. Ia pernah berlatih Yoga dengan seorang guru di Himalaya dan pemah
mengalami peristiwa transenden yang kemudian sering dirindukannya. Ia juga
mengatakan bahwa ia percaya kepada independensi atau otonomi agama. Agama bukan
penampilan dari ekonomi atau lainnya.
Sebagaimana
telah dijelaskan di atas bahwa pembicaraan mengenai pengaruh memengaruhi ini
tidaklah spesifik mengungkap definisi agama, tetapi lebih dekat kepada pembahasan
tentang teori. Namun, pendapatnya bahwa agama adalah sesuatu yang independen
dan otonomi[6], tidak ada salahnya kalau pandangan Eliade
diungkap dalam pembahasan tentang teori.
7)
Construct of Heart Masyarakat oleh E.E.
Evans-Pritcard
Pandangannya
tentang agama berbeda dengan pendapat-pendapat ahli lainnya, ia tidak
mengemukakakn definisi agama secara eksplisit. Dalam menjelaskan agama,
Evans-Pritchard mengungkap pandangannya tentang magi, menurutnya magi adalah
kepercayaan bahwa beberapa aspek kehidupan dapat dikontrol atau direkayasa
dengan kekuatan mistik atau kekuatan supernatural.[7] Magi atau ilmu sihir didasarkan kepada
kepercayaan bahwa kegagalan itu karena adanya kekuatan lain yang memengaruhi
hukum alam sehingga hukum alam itu tidak berlaku padanya, seperti kenapa suatu
penyakit hanya menyerang dia. Evans-Pritchard mengatakan bahwa logika magi itu
sangat cerdas dan tepat untuk menghadapi berbagai permasalahan sehari-hari.
Evans-Pritchard membantah evolusi kepercayaan dari animisme, ke dinamisme,
polyteisme, trinitas dan monoteisme.
8)
Agama Sebagai Sistem Budaya oleh Clifort
Geertz
Agama dan kebudayaan tidak mungkin dipelajari dari
luar (positivistik) seperti kita mempelajari benda-benda alam. Menurut Geertz,
kebudayaan hanyalah konteks makna yang dipahami bersama atau “struktur arti
yang mapan”[8],
walaupun disadarinya pula bahwa simbol menduduki peran penting dalam
kebudayaan.
Yang dimaksud Geertz mengenai agama sebagai sistem budaya adalah :
“(1) sebuah sistem simbol yang berlaku untuk (2) menetapkan suasana
hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresap dan yang tahan lama dalam
diri manusia dengan (3) merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum
eksistensi dan (4) membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran
faktualitas, sehingga (5) suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak khas
dan realistik.”[9]
Agama merumuskan konsep tentang tatanan kehidupan yang umum,
memberi suatu arti yang mutlak, suatu suatu tujuan pesanan yang besar pada
dunia. Maka dalam agama pada suatu sisi berdiri konsepsi tentang dunia dan pada
sisi lain berdiri serangkaian suasana hati dan motivasi yang dibimbing oleh
ide-ide moral.
B. Argumentasi Yang Dibangun Oleh Para Teoritis
1)
Animisme oleh E.B. Tylor
Tylor
mengemukakan pembuktiannya bahwa agama mulai dengan Animisme. Menurut Tylor,
Animisme adalah perlambangan dari suatu jiwa atau roh pada beberapa makhluk
hidup dan objek bernyawa lainnya. Segala sesuatu hidup karena nyawa, roh atau
jiwa, baik aktif maupun tidak aktif. Menurut Tylor, agama bersumber pada
penggambaran dan personifikasi orang terhadap suatu roh, pada setiap makhluk
dan objek-objek yang ada di sekelilingnya. Esensi agama digambarkan oleh Tylor
sebagai kepercayaan kepada wujud spiritual dapat juga dipakaikan kepada agama
besar dunia, seperti Islam, Kristen, Budha, dan Hindu, di samping agama
primitif, apabila wujud spiritual juga diartikan mencakup kekuatan gaib.
Kekuatan gaib dalam agama yang menjadi sentral dalam agama tersebut adalah Tuhan.
Berbagai macam
kepercayaan tentang Tuhan, dari yang esa ke politeisme, dari yang menyatu
dengan alam dan manusia (panteisme) ke yang jauh di atas langit, dari Yang Maha
Kasih ke Yang Maha Bengis, dari yang menciptakan alam dengan kun fayakun (Ada!
Maka jadi adalah ia) ke yang beremanasi menjadi alam, yaitu alam semesta
memancar dari diri-Nya tahap demi tahap. Berbagai kepercayaan tentang Tuhan ini
punya persamaan dan perbedaan. Perbedaan seperti yang baru saja diungkap.
Persamaannya adalah sama-sama percaya kepada berkuasa dan berpengaruhnya wujud
spiritual dalam kehidupan masyarakat yang memercayai-Nya.
Definisi Tylor
di atas tidak mengesampingkan aspek empirik, hukum, dan jamaah dari agama.
Namun, segala aktivitas dan upacara bersama dilakukan dalam rangka menyembah
wujud spiritual itu. Dalam agama masyarakat primitif, aktivitas sehari-hari
dikaitkan dengan pengharapan kepada anugerah ruh yang menguasai sesuatu yang
dikerjakan dan selamat dari murkanya sehingga yang dikerjakan musnah atau tidak
mendatangkan hasil. Dalam kepercayaan agama besar dunia juga demikian. Dalam
agama Islam misalnya, kegiatan sehari-hari hendaknya dilakukan dalam rangka
menyembah Allah. Demikian juga agama Hindu seperti yang disaksikan dalam
kehidupan masyarakat Bali. Namun, keterkaitan kegiatan sehari-hari dengan yang
gaib ini makin tipis dan makin kurang dengan makin kuatnya pengaruh
sekularisme.
Definisi Tylor
tentang agama tampak dilatarbelakangi dari perhatiannya kepada budaya
masyarakat primitif. Dengan demikian, kepercayaan kepada materi seperti
pandangan materialisme dan sekularisme bukanlah agama. Menjelaskan agama dari
kepercayaan animisme menunjukkan juga pandangan bahwa agama dan beragama adalah
urusan spiritual dan gaib. Kehidupan nyata, material dan rasional, apalagi banyak
persoalan modern tidak ada hubungan dengan agama. Dengan sains, menurut Tylor,
cara berpikir orang primitif itu dapat dikalahkan.
Karena pembahasan
utamanya mengenai animisme, maka hal yang paling pokok adalah pada jiwa (soul)
di mana orang-orang primitif sangat dipengaruhi oleh dua hal, yang pertama
apakah yang menyebabkan manusia hidup dan mati, demikian juga yang menyebabkan
manusia tidak sadar, bangun atau terjaga, sakit dan mati. Kedua, apa yang
muncul pada waktu orang sedang tidur atau mimpi. Dari sini dia menyimpulkan
adanya dua hal yang ada pada manusia yaitu kehidupannya dan bayangannya.
Menurut Tylor, ‘soul’ adalah gambaran, bayangan dari manusia yang sangat lembut
dan halus, seolah-olah uap. Soul ini dapat mempunyai kesadaran pribadi yang
dapat meninggalkan jasad, soul juga tidak dapat dilihat, namun dapat
menyebabkan daya kekuatan fisik dan dapat muncul pada saat manusia dalam
keadaan bangun atau terjaga. Definisi atau batasan soul ini dapat digunakan
untuk meneliti fenomena animisme pada semua bangsa.
2)
Magi oleh J.G. Frazer
J.G. Frazer
mengartikan magi sebagai suatu sistem hukum alam atau seperti petunjuk yang
sesat dan meyesatkan, ia adalah suatu ilmu yang palsu, suatu pengetahuan yang
sudah gugur sebelum waktunya- an abortive art.[10] Menurut kepercayaan primitif, magi lebih luas
artinya daripada sihir. Karena yang dikatakan magi dalam kepercayaan mereka
adalah suatu cara berpikir dan suatu cara hidup yang mempunyai arti lebih
tinggi daripada apa yang diperbuat oleh seorang ahli sihir sebagai
perseorangan. Agama menurut Frazer, bukanlah kelanjutan dari kepercayaan magis
tetapi merupakan tempat berangkat dari kepercayaan keagamaan. Frazer mengaitkan
kepercayaan ini kepada sistem kekuasaan primitif, besar kemungkinan seorang
ahli magi terbesar, kemudian yang jadi rajanya adalah pemuka agama tertinggi.
3)
Agama dan Kepribadian oleh Sigmund Freud
Sigmud Freud
(1856-1939) mengatakan bahwa agama adalah ilusi manusia di satu segi dan dari
segi lain agama juga berfungsi untuk menimbulkan berbagai penyakit jiwa akibat
banyak keinginan bawah sadar manusia yang dilarang oleh agama.
Sigmund Freud
merumuskan sistem kepribadian menjadi tiga sistem, yang dinamai dengan id,
ego dan super ego.[11] Ketiga sistem tersebut tersusun harmonis
dalam diri seseorang yang jiwanya sehat. Sebaliknya apabila ketiga sistem
tersebut saling bertentangan, maka orang tersebut dinamai sebagai orang yang
tak dapat menyesuaikan diri. Ia merasa tidak puas dengan diri dan
lingkungannya. Dengan kata lain, efesiensinya berkurang.
a)
Id (Das Es)
Id mempunyai fungsi menunaikan prinsip
kehidupan asli manusia berupa penyaluran dorongan naluriah. Yang berarti id
mengemban prinsip kesenangan, yang tujuannya untuk membebaskan manusia dari
ketegangan dorongan naluri dasar : makan, minum, seks dan sebagainya.
b)
Ego (Das Es)
Ego merupakan sistem yang berfungsi
menyalurkan dorongan id ke keadaan yang nyata. Freud menamakan misi yang diemban
oleh ego sebagai prinsip kenyataan. Segala bentuk dorongan naluri dasar yang
berasal dari id hanya dapat direalisasi dalam bentuk nyata melalui bantuan ego.
Ego juga mengandung prinsip kesadaran.
c)
Super Ego (Das Uber Icb)
Sistem yang memiliki unsur moral dan keadilan,
maka sebagian besar super ego mewakili alam ideal. Tujuan super ego membawa
individu ke arah kesempurnaan sesuai dengan pertimbangan keadilan dan moral. Ia
merupakan kode modal seseorang dan berfungsi pula sebagai pengawas tindakan
yang dilakukan oleh ego. Super ego mempunyai dua anak sistem, yaitu ego ideal
dan hati nurani.
4)
Masyarakat Sebagai yang Sakral oleh Emile
Durkheim
Secara
material, fisik atau kimiawi, hal-hal yang dipercayai sakral sama saja dengan
yang lain yang tidak dipercayai sebagai yang sakral. Menurut Durkheim, manusia
atau masyarakat yang memercayainya itu sajalah yang menjadikannya suci atau
bertuah, tidak karena adanya sesuatu yang lain atau istimewa dalam benda
tersebut. Anggapan atau kepercayaan sebagai yang suci ini datang dari subjek
yang menganggap atau memercayainya, tidak pada objek yang dipercayai sebagai
yang suci itu.
Suci atau
sakral bukan sifat benda itu sendiri, tetapi diberikan oleh manusia atau
masyarakat yang menyucikannya kepada benda yang disucikan. Oleh karena itu,
suci adalah sifat pasif pada benda yang disucikan, bukan sifat aktif. Dalam
bahasa Inggris, sifat pasif diungkap dengan kata kerja yang diberi akhiran ed
sebagai tanda bentuk pasif, tidak akhiran ing sebagai tanda sifat aktif. A.S.
Hornby dalam kamusnya tidak mengungkap sifat dalam bentuk lain dari sacred.
Tidak ada kata sacral dan sacring dalam bahasa Inggris (Hornby
1984 : 749). Bahasa adalah sarana untuk mengungkapkan budaya dan pemikiran
pemakainya. Dalam budaya dan pemikiran Barat rupanya tidak ada sifat suci yang
sebenarnya ada pada benda suci. Yang ada hanya sifat pasif, sifat yang
diberikan kepada benda, sehingga kesucian benda itu hanya kepercayaan dan
anggapan manusia atau masyarakat yang menyucikannya saja.
Untuk
mendapatkan trance atau fly, rasa khusyuk seperti dalam shalat,
doa dan zikir, juga sering dilakukan secara bersama-sama atau berjamaah.
Nyanyian rohani di gereja dilakukan oleh banyak orang yang juga untuk dapat
merasakan kedekatan kepada Tuhan. Berbagai karya seni, seperti drama, sendra
tari, koor, nyanyian klasik, marching band, yang dianggap tidak ada kaitan
dengan agama dan upacara religi, juga dilakukan secara bersama. Untuk lebih
dalam dan segera mendapatkan pengalaman tasawuf dalam Islam, berkembang
berbagai macam aliran tarikat, seperti tarikat Naqsyabandiah, Rifa’iyah,
Syaziliah, dan lainnya, yang merupakan komunitas dan organisasi yang solid dari
tingkat daerah sampai ke tingkat internasional. Semuanya diperlukan oleh
komunitas atau umat manusia karena manusia adalah makhluk sosial, zoon
politicon.
5)
Agama Sebagai Alienasi oleh Karl Marx
Karl Mark
(1818-1883) mengatakan agama sebagai alat bagi kelas borjuis untuk memeras
kelas. Marx maupun Engels tidak mencurahkan perhatian khusus kepada kritik
agama, karena bagi materialisme historis, agama hanya menyatakan keadaan
radikal manusia yang menjadi korban sebuah ekonomi tak berperikemanusiaan,
manusia yang terasing secara sosial. Maka agama akan lenyap begitu saja, segera
setelah keadaan itu berakhir.
Kritik marxis
tentang gagasan Allah serta agama sebenarnya terdiri dari penunjukkan apa yang
secara konkret menjadi syarat-syarat timbulnya gagasan itu serta
akibat-akibatnya yang merugikan. Agama-agama dan gagasan Allah SWT. di sini
hanya dipandang sebagai fenomena-fenomena dan fakta-fakta yang perlu ditentukan
sebab-sebab dan akibat-akibatnya. Di mana pun arti intern serta nilai
kebenarannya tidak diteliti dan didiskusikan dalam dirinya sendiri. Sejak
semula dia tinggal di bagian luar saja. Sebabnya ialah karena marxisme itu suatu
materialisme dialektis dan historis.[12]
Materialisme dialektis
: Pada hakekatnya materi berada di bawah pengaruh suatu ketegangan intern, yang
tak henti-hentinya melompat dari suatu keadaan ke keadaan lain yang berlawanan,
kemudian ke satu sintesa yang menyatukan pada sebuah tingkah lebih tinggi,
sampai sintesa itu larut pada gilirannya untuk mencapai tingkat yang lebih
tinggi pula, dan tanpa pernah dapat menemukan keseimbangan yang definitif.
Selanjutnya materialisme historis :
Dalam arti bahwa sejarah, sebagaimana
seluruh proses terjadinya supra-struktur-supra-struktur itu telah
disyaratkan dan ditentukan oleh fenomena-fenomena dasar, yakni yang langsung
berhubungan dengan kegiatan-kegiatan paling material, yaitu fenomena-fenomena
ekonomis. Bagi marxisme manusia merupakan suatu hakekat yang menciptakan
dirinya sendiri dengan menghasilkan sarana-sarana kehidupannya, maka adalah
variasi-variasi cara, alat-alat serta hubungan-hubungan produksi yang secara
radikal menjelaskan perubahan-perubahan sosial, politik dan kultural.
Alienasi
mencapai titik puncaknya dalam kondisi proletaris sebagai hasil sistem
kapitalis, tetapi justru dari proletariatlah akan timbul manusia baru.
Kapitalisme yang di rongrong oleh suatu kontradiksi intern akan berantakan di
depan musuh yang dilahirkannya sendiri lalu akan timbul masyarakat “tanpa
kelas”, di mana semua pertentangan telah dihapus, di mana manusia akan
merealisasikan seluruh kodratnya.
“Apabila masyarakat, dengan menguasai semua
sarana produksi dan menggunakan secara metodis, telah membebaskan dirinya dan
seluruh anggotanya dari perbudakan oleh sarana produksi yang sekarang berlaku,
yang diciptakannya sendiri tetapi yang menentangnya sebagai suatu kekuatan
asing yang lebih unggul, apabila manusia, karena tidak puas dengan hanya
berpikir saja, akan memerintah, maka hanya ketika itulah akan lenyap kekuatan
asing terakhir yang masih tercermin di dalam agama; dan dengan ituakan lenyap
pula gejala agama itu sendiri, karena jelas bahwa lalu tidak ada lagi
obyek-obyek yang perlu dicerminkan.”[13]
6)
Realitas yang Sakral oleh Mircea Eliade
Eliade mulai
menjelaskan agama dengan membedakan antara kehidupan sakral dan kehidupan
profan. Yang sakral itu aktivitas kehidupan yang disengaja, yang supematural,
mengesankan, yang substansial dan penting; yang teratur, sempurna, tempat
bersama leluhur, para pahlawan dan para dewa. Sebaliknya yang profan adalah
yang biasa-biasa saja dalam kehidupan sehari-hari, yang berubah dan sering
kacau. membosankan dan urusan “kecil”. Walaupun pemisahan yang sakral dan yang
profan diambilnya dari Durkheim, tetapi esensinya bukan klan atau kehidupan
sosial lagi, seperti diungkap Durkheim. Teorinya tentang yang sakral dekat
dengan Tylor dan Frazer, yaitu supernatural, suatu keabadian, suatu realitas
dan sesuatu yang agung. Yang sakral itu bukan sekadar pusat desa, tetapi pusat
dunia (axis mundi) seperti yang dialami Nabi Ya’qub, yang disaksikan oleh para
sufi dan dialami Nabi Muhammad ketika isra’ mi’raj. Di puncak-puncak bukit
sering dibangun tugu sebagai tanda tempat sakral dan pusat bumi.
Eliade memuji
agama purba yang kosmis yang penuh dengan sakralisasi alam dan kehidupan, serta
merasakan kebahagiaan dalam kembali ke asal, tidak mau tunduk dalam ikatan
sejarah. Semua pengalaman keagamaan ini pernah dialaminya, dengan arti
dibuktikannya sendiri, di India. Ini berbeda dengan kebudayaan Eropa dan
Amerika modern yang ingin mcnghilangkan aspek sakral dalam kehidupan, ingin
hidup dalam dimensi ruang dan waktu yang terbatas, dalam sejarah yang penuh
penderitaan dan kehampaan. Modernisme membelenggu manusia dalam sejarah
sehingga mereka juga penganut paham historisisme. Kecenderungan ini adalah
karena pengaruh ajaran Yudeo-Kristen. Namun, mereka tidak dapat lepas dari
kehidupan sakral. Kesakralan tersebut mereka alami dalam even-even atletik,
drama, seni yang mampu mengangkat emosi mereka saat menontonnya.
Walaupun
Eliade telah berusaha menyelami agama-agama dari pandangan orang dalam dan
tampak membela kepercayaan yang dianggap simbolis, mitos, sakral, tetapi Eliade
tidak mampu maju lebih jauh dengan contoh agama lain, seperti agama Islam yang mengajarkan bahwa satu~satunya
tujuan hidup adalah untuk menyembah Allah (QS AI-Dzariyat : 57) lslam
mengajarkan tidak ada pemisahan antara yang sakral dan profan bahkan
mengajarkan hendaknya kegiatan sehari-hari pun supaya disakralkan, dilakukan
karena karena ikhlas kepada Allah dan dalam rangka beribadat kepadanya.[14]
7)
Construct of Heart Masyarakat oleh E.E.
Evans-Pritcard
Pandangannya
tentang agama berbeda dengan pendapat-pendapat ahli lainnya, ia tidak
mengemukakakn definisi agama secara eksplisit. Analisisnya tentang agama ia
dapatkan dari hidup Bersama suku Azande selama dua tahun dan suku Nuer selama
enam tahun di Sudan. Evans-Pritchard memandang bahwa seseorang tidak akan dapat
memahami agama atau aspek kebudayaan apa pun dari suatu masyarakat tanpa
menempatkan objek studi itu dalam konteks kebudayaan dari masyarakat yang
diteliti secara komprehensif. Perbedaan masyarakat primitif dan modern bukan
terletak pada bodoh atau tidaknya, tetapi terletak pada lautan kebudayaan
masing-masing yang berbeda. Ia mengkritik pendapat-pendapat yang mengatakan
agama dan magi adalah cara berpikir pralogis dan irasional, sedangkan sains
adalah cara berpikir yang logis dan rasional.
Menurutnya,
agama bangsa primitif juga monoteisme. Pada suku Nuer walaupun mereka percaya
kepada banyak ruh, ada ruh di atas ada ruh di bawah atau di bumi, tetapi
pemikiran mereka yang pertamayang paling utama tertuju kepada Tuhan Yang Esa yang mereka kenal dengan Kwoth
Nhial[15] (Tuhan yang tanpa pamrih mencintai makhluk
manusia ciptaan-Nya dan selalu hadirdalam kehidupan mereka). Menurut
Evans-Pritchard, orang primitif biasanya tidak mengungkapkan sesuatu dengan
pengertian denotatif sebagiamana yang diucap, tetapi banyak yang kiasan dan
konotatif.
Evans-Pritchard
mencoba memahami agama dari cara penganutnya sendiri, menggunakan pendekatan
fenomenologis. Penilaian ini menunjukkan bahwa Eliade dan Evans-Pritchard
sepenuhnya membenarkan agama primitif seperti agama atau kehidupan masyarakat
yang dilihatnya akan tetapi, pembenaran ini, sebagaimana diungkapkannya, cocok
dengan lautan budaya masyarakat yang bersangkutan.
8)
Agama Sebagai Sistem Budaya oleh Clifort
Geertz
Clifford
Geertz juga pembela pendekatan fenomenologis. Dalam mengkaji agama dan
kebudayaan, ia menamakan pendekatannya dengan interpretatif. Ia juga mengungkap
pendekatannya sebagai deskripsi mendalam (thick description).
Antropologi menurutnya harus menjelaskan secara detail makna dari Gerakan atau
suatu simbol yang biasa berbeda dari penampilannya. Menurut Geertz, kebudayaan
hanyalah konteks makna yang dipahami bersama atau “struktur arti yang mapan”,
walaupun disadarinya pula bahwa simbol juga menduduki peran penting dalam kebudayaan.
Karena yang dicari adalah interpretasi atau makna suatu penampilan budaya, maka
antropologi menurutnya tidak akan dapat menemukan suatu kaidah atau teori
universal. Antropologi hanya sains interpretatif, sains yang mencari makna.
Simbol
mengandung arti luas yang dipakai untuk apa saja yang memiliki arti yang lain
bagi orang lain. Yang di maksud simbol oleh Geertz adalah sesuatu yang konkret
atau dapat diinderai yang merupakan rumusan dari pandangan atau abstraksi
pengalaman. Simbol adalah perwujudan konkret dari gagasan, sikap, putusan,
kerinduan atau keyakinan masyarakat yang bersangkutan. Ajaran agama menurut
Geertz diungkap dalam bentuk simbol-simbol.[16]
Dari
penelitiannya terhadap masyarakat Islam, Geertz menyaksikan fungsi agama yang
positif terhadap kehidupan, yaitu mendatangkan suasana hati yang mantap dan
motivasi yang kuat serta tahan lama untuk mencapai tujuan hidup yang diajarkan
agama, seperti untuk mancapai keridhaan Allah.
C. Bukti Yang Diangkat Oleh Para Teoritis
1)
Animisme oleh E.B. Tylor
Dengan pembuktiannya bahwa agama mulai dengan Animisme, dapat
diketahui dalam urainnya mengenai agama dalam pengalaman seorang Negro[17]
yang dikutipkan sebagai berikut :
He was going
out to important business, but crossing the threshold he trod on this stone and
hurt himself. Ha! ha! thought he, art thou there ? So he took the stone, and it
helped him through his undertaking for days.
Karena itu,
menurut Tylor, agama adalah kepercayaan orang terhadap adanya suatu hubungan
antara dirinya sendiri dengan roh-roh yang dianggap memiliki, menguasai dan ada
di mana-mana memenuhi alam semesta ini.
2)
Magi oleh J.G. Frazer
Magi dikembangkan dengan harapan dapat memengaruhi proses alam
sehingga menguntungkan manusia. Supaya hujan tidak turun pada suatu perhelatan,
banjir tidak datang, gunung tidak meletus, digunakan kekuatan magi oleh orang
ahli magi yang biasanya kepala suku. Kerja ahli magi yang mirip dengan tukang
sihir berusaha memaksa kekuatan alam menurut yang dikehendakinya dengan mantra
dan jampi-jampi. Akan tetapi, tatkala mantra magis untuk mengendalikan gejala
alam sudah tidak ampuh, supaya masyarakat primitif dapat bertahan hidup. mereka
menggunakan agama.
3)
Agama dan Kepribadian oleh Sigmund Freud
Sigmund Freud sebagai father image (citra bapak), yang
dimana pemahaman agama pada anak sangat tergantung dari sikap dan perlakuan orang tua dalam
menjalankan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga. Citra
bapak mempakan patron (pola) bagi anak dalam pembentukan dasar-dasar keagamaan
dalam dirinya bila dalam beragama bapak dapat menampilkan sikap lemah
lembut dan penuh kasih sayang, maka anak-anak akan mengintemalisasi nilai-nilai
agama juga seperti itu. Sebaliknya bila penampilan sang bapak terkesan sangar,
aruk-anak akan mengidentiflkasikan agama sebagai aiaran yang penuh dengan
"kekejaman". Dengan demikian, pemahaman agama pada anak sangat
tergantung dari sikap dan perlakuan omng tua dalam menjalankan ajaran agama dalam
kehidupan sehad-hari di rumah tangga.
4)
Masyarakat Sebagai yang Sakral oleh Emile
Durkheim
Durkheim menekankan kepemilikan bersama terhadap yang sakral.
Penganut agama yang sama harus memperlakukannya sedemikian rupa. Dengan
demikian, yang sakral itu milik bersama, dan lebih jauh merupakan sarana
pemersatu komunitas yang bersangkutan. Demikian juga hal-hal yang sakral pada
agama lain. Ia adalah alat pemersatu penganut agama tersebut. Bahkan yang
sakral itu dianggap sebagai binatang atau tumbuhan pemersatu karena dipercayai
bahwa mereka berasal dari hewan yang sama, seperti dari sapi atau kera. Hewan
itu dipuja karena mereka meyakini sebagai nenek moyang atau asal-usul mereka.
Binatang ini dinamakan dengan binatang totem. Binatang totem tidak boleh
disembelih, kecuali dengan upacara ritual dan pada hari tertentu. Menurut
Durkheim, kepercayaan kepada binatang totem adalah bentuk awal dari
kepercayaan religius. Jadi, agama-agama besar dunia yang berkembang kemudian,
menurut Durkheim, pada prinsipnya adalah perkembangan kepercayaan bahwa suatu
klan berasal dari binatang atau tumbuhan tertentu.
Pandangan asal-usul kepercayaan beragama dari kepercayaan kepada
hewan totem ini tampak merupakan suatu sikap penyederhanaan yang keterlaluan
(simplifikasi) yang berasal dari teori evolusi Darwin. Penganut agama samawi
tentu tidak mau menerima teori Durkheim ini. Akan tetapi, karena Durkheim
menganut positivisme ilmiah atau paradigma social facts dalam
pengembangan ilmu sosial, ia tidak mau mendengar suara pengemban kepercayaan
kepada agama yang bersangkutan. Fenomena sosial, termasuk fenomena sosial
keagamaan, menurutnya, harus consider social facts as things, menganggap
fakta sosial sebagai benda, peneliti harus menjaga jarak, tidak boleh berempati
dengan objek yang ditelitinya.
Upacara ritual juga tidak ada tanpa dilakukan oleh banyak atau
beberapa orang. Tarian mistik dalam rangka pemujaan kepada ruh nenek moyang,
dalam rangka memuja hewan totem, atau dalam rangka mengusir ruh jahat pada
masyarakat primitif dilakukan oleh banyak orang. Keterlibatan banyak orang
dalam suatu upacara tertentu adalah ciri khas upacara keagamaan atau berbagai
aliran kepercayaan. Peraturan, norma, hukum dalam suatu masyarakat dan
komunitas tertentu, atau apa yang dinamakan dengan way of life adalah
juga pemersatu di kalangan masyarakat dan komunitas yang bersangkutan.
Karena itu, Emile Durkheim (1965) dan Roger Caillois (1959)
menujukan perhatian dalam mengamati kehidupan beragama kepada kesatuan penganut
agama atau integritas sosial. Ketika mengamati binatang totem, ritual,
benda-benda yang sakral, keduanya sampai ke kesimpulan bahwa semuanya itu untuk
memperkuat solidaritas sosial. Bahkan kesimpulannya terlalu jauh dengan
mengatakan bahwa agama diciptakan oleh masyarakat yang bersangkutan dan yang
dipercayai sebagai Tuhan sebenarnya adalah masyarakat itu sendiri.
5)
Agama Sebagai Alienasi oleh Karl Marx
Jika manusia merasakan kebutuhan untuk mengandaikan suatu hakekat
yang menjadi pegangan dan yang mengisi kekurangannya, maka itu disebabkan
karena ia tidak menemukan dalam dirinya realitasnya yang penuh dan
rasionalitasnya yang sejati. Marxisme berpretensi untuk menerangkan kesadaran
ini dengan faktor-faktor ekonomis : sifat non-rasionil dari eksistensi,
absurditas dari kondisi-kondisi konkret kehidupan, kekacauan produksi. Pembagian
kerja yang sebenarnya perlu telah menimbulkan pembagian dan penentangan
kelas-kelas : penduduk kota dan para petani, yang memerintah dan yang
diperintah, pekerja intelektual dan pekerja kasar, kaum borjuis dan kaum
proleter merupakan sekian banyak dunia yang masing-masing membiarkan di luar
mereka segala kekayaan manusiawi yang dimiliki oleh golongan antagonisnya.
Masyarakat tidak dirasakannya sebagai semacam realitas batin,
sebagai kondisi yang terpenting untuk perkembangannya; kepentingan masyarakat
tidak jatuh bersamaan dengan kepentingan
sendiri. Baginya masyarakat Nampak sebagai suatu kekuatan lahir yang asing bagi
eksistensi konkretnya, yaitu berupa : Negara.
6)
Realitas yang Sakral oleh Mircea Eliade
Dalam kehidupan keagamaan di masyarakat mana pun kita juga selalu
menyaksikan simbol, mitos dan ritual. Kebanyakan yang kita saksikan dan alami
sehari-hari bersifat profan. Akan tetapi, semua yang profan itu dapat kita
alami sebagai yang sakral tergantung kepada manusia yang mengalaminya. Simbol
dan mitos mampu membangkitkan imajinasi, kehendak, emosi dan kehidupan bawah
sadar untuk melihat yang ada di balik alam natural. Langit, air, udara, batu,
bulan, dan lainnya merupakan simbol-simbol yang mengandung makna keluasan,
perubahan, kekuasaan, kekaguman yang selanjutnya mengandung aspek supranatural.
Bagi budaya animisme, semuanya itu punya jiwa atau ruh yang sakral. Mitos
adalah cerita untuk memperdekat dunia supernatural ke dunia natural.
Mitos penuh dengan cerita-cerita tentang yang sakral yang
mendekatkan kehidupan supernatural yang ilahi ke dalam kehidupan nyata manusia.
Hewan atau pohon totem hanya sekadar binatang atau pohon biasa dalam pandangan
orang lain, tetapi bagi yang memercayainya dihayati sebagai yang sangat sakral,
sangat bernilai dan penting. Ka’bah, contohnya, adalah suatu objek yang profan.
Akan tetapi, kaum Muslimin menyaksikannya sebagai objek yang sakral. Al-Qur'an
hanya dipandang sebagai buku yang terbuat dari kertas dan bertuliskan huruf
Arab seperti kitab-kitab lain dalam pandangan orang yang tidak menghayati
kesakralan dan memahami isinya. Demikian seterusnya, suatu objek atau benda
sangat bernilai bagi yang menghayati kesakralannya dan dipandang biasa,
natural, bagi yang tidak menghayati kesakralannya.[18]
7)
Construct of Heart Masyarakat oleh E.E.
Evans-Pritcard
Evans-Pritcard memahami agama dari cara penganutnya sendiri, suatu
pendekatakn fenomenologis. Ia mengkritik pendekatan intelektualis yang dimulai
dengan statemen “Andai aku seekor kuda”[19].
Artinya mereka ingin memahami agama dan kebudayaan lain, terutama yang primitif,
dengan kerangka pikiran modern mereka.
8)
Agama Sebagai Sistem Budaya oleh Clifort
Geertz
Menurut Geertz antropologi tidak pernah sepenuhnya bersifat prediktif, bersifat
teori dan penjelasan kausalitas. Geertz melakukan penelitian mengenai agama dan
kebudayaan di Jawa dan Bali, tidak seperti suku Nuer atau Azande yang diteliti
oleh Evans-Pritchard, ia memandang bahwa masyarakat juga dibentuk oleh
agamanya. Agama ditemukannya punya pengaruh dalam setiap pojok dan celah
kehidupan Jawa.
Dalam menjelaskan Islam di Jawa, menurutnya terbagi kepada kelompok abangan
(golongan petani pedesaan yang banyak dimasuki unsur kepercayaan agama Hindu
daan Jawa Kuno), santri (Para saudagar di daerah pantai dan perkotaan yang
melaksanakan ajaran agama secara ketat, cenderung kepada pemurnian) dan priayi
(golongan pegawai negeri dan bangsawan Jawa mengamalkan Islam sinkretik dengan
agama Hindu, Budha dan Islam). Polarisasi ini mengundang banyak kritik, karena
ketidakmampuannya dalam membedakan mana yang agama dan mana yang bukan agama
pada agama priyayi. Demikian juga konsep abangan tidak harus di temukan di
kalangan petani miskin, petani di pedesaan bisa juga jadi santri yang ditandai
dengan ketat menjalankan rukun Islam. Selain itu Geertz juga melakukan studi
lapangan di Maroko sehingga dibandingkan dengan studinya tentang Islam di Jawa
dan Bali.[20]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesimpulan secara
keseluruhan yang dapat diambil dari pembahasan diatas bahwa dari definisi,
teori dan penjelasan tentang agama yang diungkap di atas terlihat pula ada ahli
antropologi yang menujukan perhatian kepada asal-usul agama. Asal-usul agama
dari Tuhan tentu tidak empirik, tidak dapat dibuktikan Yang dapat dibuktikan
adalah kondisi psikologis manusia yang diliputi ketidaktahuan dan kecemasan
menghadapi gejala alam. Karena itu, ada ahli antropologi yang memberikan
definisi agama sebagai pelarian manusia yang lemah memahami kedasyatan alam
semesta, lemah mengendalikan alam, lemah menata kehidupan bersama, atau lemah
mendapatkan bahagia daiam kehidupan sehingga mereka menyandarkan kelemahan
mereka dengan berpegang kepada yang gaib.
Walaupun tinjauan dari asal-usul beragama yang digali dari kondisi
psikologi manusia ini mengandung kebenaran tetapi implikasinya meniadakan agama
setelah manusia menjadi kuat dengan ilmu pcngetahuan dan teknoioginya, Ini
pandangan modemisme yang menckankan aspek kemajuan fisik. Akan tetapi,
pengalaman manusia yang hanya menekankan aspek fisik dan ekonomi menunjukkan
mereka terperangkap pula kepada krisis identitas, krisis nilai kehidupan, dan
kegersangan spiritual sehingga banyak yang lari ke aliran-aliran pemujaan.
Jadi, definisi dengan tinjauan asal-usul psikologis dari kecenderungan
manusia beragama dapat pula dipahami kebenarannya, sehingga untuk tercapainya
kebahagiaan, manusia tidak hanya membutuhkan sarana fisik dan material, tetapi
juga nilai-nilai spiritual yang sulit dimmuskan dengan kemampuan akal dan
metode ilmiah saja.
Sehubungan
dengan pandangan apakah agama bagian dari kebudayaan atau sebaliknya, maka akan
ada tiga macam definisi tentang agama yaitu: (1) Agama bagian dari kebudayaan
manusia. Agama didefinisikan biasanya merupakan upacara-upacara ritual,
hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya. Pandangan jenis ini
dipengaruhi oleh angan sosiologis yang mendikotomikan kehidupan kepada upacara
ritual dengan aktivitas sehari-hari yang profan, antara hubungan vertikal
dengan hubungan horizontal. Definisi kelompok ini bersifat sekular dan
membatasi ruang gerak agama di rumah-rumah ibadat dan yang berhubungan dengan
yang gaib serta urusan pribadi saja. (2) Agama mempakan fenomena budaya yang
berhubungan dengan yang gaib yang menyusup ke aspek-aspek budaya yang lain.
Walaupun yang gaib itu dipahami sebagai kreasi manusia, tetapi sebagai agama
dia mewamai, memengaruhi atau ikut membentuk aspek kebudayaan yang lain,
seperti ilmu, teknologi, ekonomi, politik, seni, dan lain sebagainya. (3) Agama
adalah wahyu Tuhan dan interpretasi pemukanya yang mencakup atau mengarahkan
segenap aspek budaya, sehingga agama melahirkan kebudayaan, bukan sebaliknya
kebudayaan yang melahirkan agama.
B. Saran
Dengan dibuatnya makalah ini semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca
dan saya selaku pembuat makalah. Serta dengan dibuatnya makalah, saya meminta
saran kepada para pembaca untuk mengoreksi apabila ada kesalahan dalam
sistematika penulisan dan isi pembahasan pada makalah.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, B. (2007). Agama Dalam Islam
Kehidupan Manusia (Pengantar Antropologi Agama). Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Jalaluddin. (2010). Psikologi Agama. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Leahy, L. (1990). Masalah Ketuhanan dewasa ini.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Zakiah Daradjat, d. (1996). Perbandingan Agama 1.
Jakarta: Bumi Aksara.
[2] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia
(Pengantar Antropologi Agama) (Jakarta : Penerbit PT RajaGrafindo Persada),
hlm. 120.
[3] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia
(Pengantar Antropologi Agama) (Jakarta : Penerbit PT RajaGrafindo Persada),
hlm. 126.
[6] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia
(Pengantar Antropologi Agama) (Jakarta : Penerbit PT RajaGrafindo Persada),
hlm. 131.
[9] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia
(Pengantar Antropologi Agama) (Jakarta : Penerbit PT RajaGrafindo Persada),
hlm. 144.
[14] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia
(Pengantar Antropologi Agama) (Jakarta : Penerbit PT RajaGrafindo Persada),
hlm. 134.
[15] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia
(Pengantar Antropologi Agama) (Jakarta : Penerbit PT RajaGrafindo Persada),
hlm. 138.
[16] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia
(Pengantar Antropologi Agama) (Jakarta : Penerbit PT RajaGrafindo Persada),
hlm. 145.
[18] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia
(Pengantar Antropologi Agama) (Jakarta : Penerbit PT RajaGrafindo Persada),
hlm. 133.
[20] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia
(Pengantar Antropologi Agama) (Jakarta : Penerbit PT RajaGrafindo Persada),
hlm. 143.