Makalah Sifat Rasul Sebagai Pemimpin Umat (Tafsir (III) Kepemimpinan)
Makalah mengenai Sifat Rasul Sebagai Pemimpin Umat pada mata kuliah Tafsir (III) Kepemimpinan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Sifat Pemimpin dalam Islam
Pemimpin adalah seseorang yang
mempunyai keahlian memimpin, mempunyai kemampuan memengaruhi pendirian /
pendapat orang atau sekelompok orang tanpa menanyakan alasan-alasannya. Ada perbedaan antara pemimpin muslim dan
pemimpin biasa, karena pemimpim muslim memiliki sifat-sifat pemimpin ditambah
lagi dengan sifat-sifat Islam. Terdapat 5 poin mengenai sifat-sifat pemimpin
muslim :
1.
Sifat-sifat pemimpin berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan situasi,
jenis tugas dan pengikutnya
2.
Kita dapat menunjukan kumpulan beberapa sifat dasar yang bisa
mengembangkan kemampuan pemimpin untuk menggerakan manusia mencapai tujuan.
3.
Pemimpin efektif yaitu pemipin karena sifat-sifatnya, oleh karena itu ia
dicintai meninggalkan kesan dan pengaruh yang harus dikenang, bahkan setelah ia
meninggalkan jabatannya.
4.
Seorang pemimpin muslim yang efektif harus memiliki beberapa sifat
tambahan yang muncul dari dirinya sebagai seorang muslim yang bertauhid dan
berorientasi kepada akhirat dengan tidak merupakan kehidupan dunia.
5.
Semangat pemimpin untuk sampai pada tingkatan kesempurnaan adalah suatu
yang penting, namun ada beberapa sifat kepemimpinan yang sangat penting yang
ketidakberadaannya merupakan pengganggu utama bagi kinerja pemimpin.
Dari 5 poin diatas mengenai sifat-sifat pemimpin muslim, maka inilah
empat sifat pemimpin dalam islam, diantaranya :
1.
Iman dan Tauhid
Mengenai aqidah yang kukuh terdapat dalam QS. Al-An’am : 162-163, yang memiliki
arti :
“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (162) Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan
kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada
Allah). (163)”
Aqidah
merupakan sumber kehidupan dan pancaran cahaya yang terwujud dalam diri seorang
pemimpin yang berdiri kukuh, dengan semangat menyala dan cahaya yang menyinari
orang lain. Dan aqidah juga merupakan kekuatan mental yang tak ternilai bagi
manusia.
Dalam
QS.Al-Qashash : 77, bahwa tujuan paling mulia dalam memimpin adalah akhirat,
“Dan carilah
pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” Konsep ibadah menurut orang Islam adalah konsep yang menyeluruh,
mencangkup semua aktivitas yang dilakukan dan tidak dilarang dalam agama, yang
diikat dengan niat dan mengharapkan pahala dan balasan dari Allah SWT. Simbol
seorang pemimpin muslim adalah tawakal, yang hanya bergantung kepada Allah SWT
yang mengatur semua urusan makhluknya yang ada di langit dan dibumi.
2.
Ketaatan
Dalam sikap ketaatan, dapat kita teladani sifatnya dalam diri Rasulullah
SAW. Perkataan Rasulullah bukanlah kemauan hawa nafsu beliau, tetapi ucapan
beliau tiada lain hanyalah wahyu yang diterima, Allah telah memerintahkan kita
untuk mengikuti Rasul-Nya. Mengikuti Batasan-batasan hukum agama dan tidak mengagungkan
ijtihad manusia
3.
Kebersihan hati
Setiap pemimpin harus konsisten dalam tindakannya, yang berarti
senantiasa berpegang kepada prinsip-prinsip dalam semua keadaan, selalu
beristigfar, selalu terikat dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan selalu mengingat
akhirat.
4.
Penunjukan sebagai khalifah di bumi
Tujuan seorang pemimpin adalah memakmurkan bumi, bagaimana dalam firman
Allah QS. Al-Baqarah : 30
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي
جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
“Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi…”
Sayyid Quthb
mengatakan bahwa ini adalah kehendak Yang Mahakuasa memberikan manusia kendali
kehidupan di bumi dan memberikan kebebasan dalam berbuat apa saja, sehingga
dengan izin Allah, dalam menjalankan tugas yang besar ini (menjadi khalifah di
bumi) Allah mewakilkannya kepada manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sifat Para
Rasul Sebagai Pemimpin Umat
Sifat pemimpin dalam Islam dengan
memiliki aqidah yang kukuh, tujuan yang mulianya adalah akhirat, tawakal adalah
simbol, Rasulullah merupakan tauladannya, mengikuti batasan-batasan hukum
agama, tidak mengagungkan ijtihad manusia, konsisten dalam bertindak, selalu
beristigfar, terikat dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, selalu ingat akhirat dan
tujuan dunianya adalah memakmurkan bumi, tentu sudah dimiliki oleh para Rasul. Diantaranya
Nabi Ibrahim AS. beliau seorang pemimpin yang pencari dan penegak kebenaran,
yang dimana terdapat dalam QS. Al-An’am ayat 76-78
“Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang,
(lalu) dia berkata, “Inikah Tuhanku?”. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam,
dia berkata, “Saya tidak suka kepada yang tenggelam”.(76) Kemudian tatakala dia melihat bulan terbit, dia berkata,
“Inikah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata,”Sesungguhnya
jika Tuhan-ku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk
orang-orang yang sesat”.(77) Kemudian tatkala dia melihat matahari
terbit, dia berkata, “Inikah Tuhanku? Ini lebih besar”, maka tatkala matahari
itu telah terbenam, dia berkata, “Hai kaumku sesungguhnya aku berlepas diri apa
yang kamu persekutukan.”(78)
Nabi Ibrahim AS. juga merupakan
pemimpin yang rela berkorban, seperti yang kita ketahui dalam kisahnya beliau berkorban
mempertaruhkan nyawanya ketika menghadapi para penyembah berhala dengan sebuah
konsekwensi hidup atau mati. Sehingga beliau dibakar hidup-hidup dan
diasingkan. Selain itu beliau memiliki sifat bermusyawarah, sebagaimana dalam
kisah beliau, Allah SWT. memerintahkan beliau untuk menyembelih anaknya, beliau
jalankan perintah itu dengan menyampaikan terlebih dahulu kepada anaknya (Nabi
Ismail AS.). Beliau juga pemimpin yang memiliki idealisme yang tak kunjung
padam serta beliau merupakan pemimpin seluruh manusia, seperti yang kita
ketahui dari sekian banyak pelajaran dan hikmah dari pribadi Nabi Ibrahim AS.
dan keluarganya adalah pelajaran tentang kepemimpinan. Di mana Allah SWT. telah
memilih Nabi Ibrahim AS. sebagai pemimpin bagi umat manusia atas berbagai
prestasinya yang gemilang dalam banyak ujian yang telah dilaluinya. Dalam hal
ini Allah SWT. menyebutkan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 124 :
وَإِذِ ابْتَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ ۖ قَالَ
إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا ۖ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي ۖ قَالَ لَا يَنَالُ
عَهْدِي الظَّالِمِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa
kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:
"Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia".
Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah
berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim".
Selain meneladani sifat Nabi Ibrahim
AS. sebagai pemimpin umat, kita juga perlu meneladani sifat para rasul lainnya,
yaitu Nabi Isa AS. Nabi Isa AS. memiliki sifat selalu mengajak kebenaran,
sebagaimana Allah SWT. mengutus Nabi Isa AS. sebagai rasul, yang pertama
dilakukan adalah meluruskan ajaran kejalan yang benar. Sepeninggal Nabi Musa
a.s. kaum bani israil telah banyak menyelewengkan ajaranya. tentu hal ini tidak
boleh terjadi. Nabi Isa a.s. pun menyampaikan dakwah kepada mereka. Sebagai
muslim kita memang harus selalu menjaga kemurnian ajaran agama Islam, jangan
sampai kita membiarkan ketika ajaran Islam diselewengkan. Selain itu beliau
memiliki sifat senang menolong sesama, keteladanan yang bisa kita contoh dari
Nabi Isa AS. adalah akhlaknya yang baik yaitu suka menolong sesama. Meskipun
dakwahnya tidak diterima sebagian besar kaumnya tetapi Nabi Isa AS. tidak
membenci kaumnya dan senang hati menolongnya jika dibutuhkan. sebagai contoh,
ketika ada orang yang tidak bisa melihat sejak lahir kemudian Nabi Isa AS.
datang untuk mengobatinya, dengan izin Allah SWT. orang tersebut dapat melihat
kembali. Sifat para Rasul sebagai pemimpin umat perlu kita teladani, terutama
bagi kita sebagai generasi penerus bangsa, selain meneladani sifat Nabi Ibrahim
AS. dan Nabi Isa AS. seperti yang dipaparkan diatas, kita juga perlu meneladani
sifat seorang Rasul, yaitu Rasul yang menjadi suri tauladan kita, beliau adalah
Nabi Muhammad SAW.
Rasulullah SAW yang merupakan
pemimpin umat yang sangat diteladani, sebagaimana dalam firman Allah QS. Ali-Imran
ayat 159 yang berbunyi :
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ
وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ
عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.”
Ayat ini turun seusai perang uhud, pada saat itu
sahabat ada yang melanggar perintah Nabi SAW. Sehingga menyeret kaum muslimin
kedalam kegagalan dan Rasulullah
mengalami luka-luka, tetapi Rasulullah tetap sabar, tahan uji dan bersikap
lembut dalam bergaul dengan para sahabatnya. Beliau tetap bersikap lembut,
tidak mencela kesalahan para sahabatnnya. Dan memaafkan mereka serta memohonkan
ampunan untuk mereka dan melakukan musyawarah dalam menghadapi suatu urusan.
Dalam
ayat tersebut terlihat bahwa Rasulullah SAW memiliki sifat lemah lembut dengan
bersabar dan tahan uji, makna ayat ini berkesinambungan dengan QS. Al-Anfal :
65, yang berbunyi
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ ۚ إِنْ
يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ۚ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ
مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ
“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para
mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya
mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang
yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada
orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.”
Bahwa dalam ayat ini Allah memerintahkan Nabi untuk
mengobarkan semangat para mukmin untuk berperang, sehingga mereka bersabar
dalam menghadapi para musuh dalam berperang. Ini merupakan kabar gembira dari
Allah Ta’ala, bahwa jika jama’ah kaum muslimin bersabar, niscaya dengan
pertolongan Allah mereka dapat mengalahkan orang-orang kafir yang
berlipat-lipat jumlahnya.
Terdapat juga maksud yang sama dalam QS. As-Syu’ara :
215
وَاخْفِضْ
جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“dan
rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang
yang beriman.”
Yang
berarti, dengan berkata-kata dan bertingkah laku lemah lembut terhadap
orang-orang yang mengikutimu dari kalangan mukminin, sebagai bentuk kasih
sayang kepada mereka.
B. Tafsir
Mufradat QS. Ali-Imran : 159
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِّنَ اللهِ
(Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah) Yakni rahmat untuk kalian dan untuk mereka
(orang-orang beriman).
لِنتَ لَهُمْ ۖ
(kamu
berlaku lemah lembut terhadap mereka) Yakni kamu bersikap lembut terhadap
mereka. Dan yang dimaksud adalah kelembutan dari Rasulullah terhadap mereka
adalah kerena rahmat Allah yang begitu agung yang diberikan untuk membantu
Rasulullah sebagai penyatu hati para sahabatnya dan pelurus urusan agama.
فَظًّا
(bersikap
keras) Makna (الفظ) adalah keras lagi bengis dan akhlak yang dibenci.
غَلِيظَ الْقَلْبِ
(lagi
berhati kasar) Yakni hati yang kasar, tanpa rasa kasihan dan tak memiliki
kemauan berbaik hati.
لَانفَضُّوا۟
مِنْ حَوْلِكَ ۖ
(tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu) Yakni menjauh darimu dan berpencar.
فَاعْفُ عَنْهُمْ
(Karena
itu maafkanlah mereka) Dalam hal yang berurusan dengan hak-hakmu.
وَاسْتَغْفِرْ
لَهُمْ
(mohonkanlah
ampun bagi mereka) Yakni kepada Allah dalam hal yang berurusan dengan hak
Allah.
(dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu) Yakni mereka yang mendatangimu
dalam urusan yang layak untuk kamu musyawarahkan atau dalam urusan perang,
karena itu memperbaiki fikiran mereka dan menarik kecintaan mereka serta
sebagai pengajaran bagi umat setelahmu tentang disyariatkannya bermusyawarah.
Yang dimaksud dengan musyawarah adalah bukan dalam urusan yang syariat yang
telah jelas didalamnya. Hal ini mewajibkan bagi para pemimpin agar
bermusyawarah dengan para ulama dalam hal yang belum mereka ketahui dan yang
mereka bingungkan dalam urusan agama, dan bermusyawarah dengan para panglima
perang dalam hal yang berhubungan dengan peperangan, dan dengan para pemuka
masyarakat dalam hal kemaslahatan masyarakat, dan dengan para sekertaris,
pegawai, dan menteri dalam hal yang berhubungan dengan kemaslahatan dan
pemakmuran negara. Imam Qurthuby menyebutkan bahwa tidak ada perselisihan
diantara para ulama tentang wajibnya mencopot pemimpin yang tidak bermusyawarah
dengan para alim ulama.
فإذا
عزمت فتوكل على الله
(maka
apabila kamu telah memantapkan hatimu maka bertawakkal-lah kepada Allah) Yakni
dalam menjalankan hal itu.
C. Munasabah
Pada surah Ali-Imran ayat 159 dijelaskan, bahwa Rasul
memiliki sifat lemah lembut dalam memimpin dengan tetap sabar dan tahan uji
dikala para sahabat melanggar perintahnya, beliau memafkannya dan memohon
ampunan dari Allah untuk mereka, serta terdapat kaitannya dengan surah Al-Anfal
ayat 65, mengenai sifat sabar Rasul untuk terus mengobarkan kaum muslimin dalam
berperang dan menjadikan kaum muslimin untuk sabar dan terus berjuang dalam
melawan musuh, begitupun dalam surah Asy-Syu’ara ayat 215, dengan merendahkan
diri terhadap orang-orang beriman yang mengikutinya. Yang berarti, dengan
berkata-kata dan bertingkah laku lemah lembut terhadap orang-orang yang
mengikutimu dari kalangan mukminin, sebagai bentuk kasih sayang kepada mereka.
D. Penafsiran
QS. Ali-Imran : 159
Dalam Tafsir Ibnu Katsir Allah
Swt berfirman kepada rasul-Nya seraya menyebutkan anugerah yang telah
dilimpahkan-Nya kepada dia, juga kepada orang-orang mukmin; yaitu Allah telah
membuat hatinya lemah lembut kepada umatnya yang akibatnya mereka menaati
perintahnya dan menjauhi larangannya, Allah juga membuat tutur katanya terasa
menyejukkan hati mereka.
{
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ }
“Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.”
(Ali Imran: 159)
Yakni
sikapmu yang lemah lembut terhadap mereka, tiada lain hal itu dijadikan oleh
Allah buatmu sebagai rahmat buat dirimu dan juga buat mereka.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya :
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. (Ali Imran: 159) Yaitu berkat rahmat Allah-lah kamu dapat bersikap
lemah lembut terhadap mereka. Huruf ma merupakan silah; orang-orang Arab biasa
menghubungkannya dengan isim makrifat, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:
فَبِما
نَقْضِهِمْ مِيثاقَهُمْ
“Maka
disebabkan mereka melanggar perjanjian itu.”
(An-Nisa: 155)
Dapat
pula dihubungkan dengan isim nakirah, seperti yang terdapat di dalam
firman-Nya:
عَمَّا
قَلِيلٍ
“Dalam
sedikit waktu.” (Al-Mu’minun : 40)
Sedangkan dalam
Tafsir Jalalain (Maka berkat) ma
merupakan tambahan (rahmat dari Allah kamu menjadi lemah lembut) hai Muhammad
(kepada mereka) sehingga kamu hadapi pelanggaran mereka terhadap perintahmu itu
dengan sikap lunak dan dalam Tafsir Al-Maraghi maksud penggalang
ayat tersebut yaitu, dikatakan bahwa
dalam keadaan genting, seperti terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin dalam Perang Uhud sehingga menyebabkan
kaum Muslimin menderita, tetapi Rasulullah tetap bersikap lemah lembut dan
tidak marah terhadap para pelanggar itu, bahkan memaafkannya, dan memohonkan
ampunan dari Allah untuk mereka. Karena Allah telah membekali Rasulullah dengan
akhlak-akhlak Al-Qur’an yang luhur, di samping hikmah-hikmah-Nya yang agung.
Dengan demikian, musibah-musibah yang beliau alami sangat mudah dan enteng
dirasakan.
Kemudian
Allah Swt. Berfirman :
وَلَوْ
كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
“Sekiranya
kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu.” (Ali Imran: 159)
Dalam Tafsir Ibnu Katsir , bahwa Al-fazzu
artinya keras, tetapi makna yang dimaksud ialah keras dan kasar dalam
berbicara, karena dalam firman selanjutnya disebutkan:
{
غَلِيظَ الْقَلْبِ }
“lagi
berhati kasar.” (Ali Imran: 159)
Dengan kata lain, sekiranya kamu kasar dalam berbicara
dan berkeras hati dalam menghadapi mereka, niscaya mereka bubar darimu dan
meninggalkan kamu. Akan tetapi, Allah menghimpun mereka di sekelilingmu dan
membuat hatimu lemah lembut terhadap mereka sehingga mereka menyukaimu, seperti
apa yang dikatakan oleh Abdullah ibnu Amr: Sesungguhnya aku telah melihat di
dalam kitab-kitab terdahulu mengenai sifat Rasulullah Saw., bahwa beliau tidak
keras, tidak kasar, dan tidak bersuara gaduh di pasar-pasar, serta tidak pernah
membalas keburukan dengan keburukan lagi, melainkan memaafkan dan merelakan.
وَرَوَى
أَبُو إِسْمَاعِيلَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ التِّرْمِذِيُّ، أَنْبَأَنَا بشْر
بْنُ عُبَيد الدَّارِمِيُّ، حَدَّثَنَا عَمّار بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنِ الْمَسْعُودِيِّ،
عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَة، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إنَّ اللَّهَ أمَرَنِي بِمُدَارَاةِ النَّاس كَمَا
أمَرني بِإقَامَة الْفَرَائِضِ"
“Abu
Ismail Muhammad ibnu Ismail At-Turmuzi mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Bisyr ibnu Ubaid, telah menceritakan ke-pada kami Ammar ibnu Abdur Rahman,
dari Al-Mas'udi, dari Abu Mulaikah, dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadaku agar bersikap lemah
lembut terhadap manusia sebagaimana Dia memerintahkan kepadakuuntuk mengerjakan
hal-hal yang fardu.”
Hadis ini berpredikat garib.
Dalam Tafsir Jalalain (dan sekiranya kamu bersikap
keras) artinya akhlakmu jelek tidak terpuji (dan berhati kasar) hingga kamu
mengambil tindakan keras terhadap mereka (tentulah mereka akan menjauhkan diri
dari sekelilingmu), maksudnya andai kata Nabi Muhammad SAW bersikap keras,
berhati kasar tentulah mereka akan menjauhkan diri dari beliau. Sedangkan dalam
Tafsir Al-Maraghi, apabila Rasul bersikap kasar dan galak dalam mu’amalah
dengan kaum muslimin, niscaya mereka akan bercerai berai dan meninggalkan
engkau dan tidak menyenangimu. Yang dimana kita ketahui bahwa tujuan utama
diutusnya para Rasul ialah untuk menyampaikan syari’at-syari’at Allah kepada
umat manusia. Apabila Rasul bersikap kasar, maka jelas tidak akan tercapai hal
itu, selain mereka (umat muslim) bersimpati kepada para Rasul dan jiwa mereka
merasa tenang dengan para Rasul. Semua akan terwujud, jika sang Rasul bersikap
pemurah, mulia, bersifat lemah lembut, melupakan semua dosa yang dilakukan dan
membimbingnya ke arah kebaikan serta memaafkan kesalahan-kesalannya.
Dalam firman selanjutnya disebutkan :
فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ
وَشاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ
“Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali Imran: 159)
Dalam Tafsir Jalalain, (maka
maafkanlah mereka) atas kesalahan yang mereka perbuat (dan mintakanlah ampunan
bagi mereka) atas kesalahan-kesalahan itu hingga Kuampuni (serta berundinglah
dengan mereka) artinya mintalah pendapat atau buah pikiran mereka (mengenai
urusan itu) yakni urusan peperangan dan lain-lain demi mengambil hati mereka,
dan agar umat meniru sunah dan jejak langkahmu, maka Rasulullah saw. banyak
bermusyawarah dengan mereka. Sedangkan dalam
Tafsir Ibnu Katsir, karena itulah Rasulullah Saw. selalu bermusyawarah
dengan mereka apabila menghadapi suatu masalah untuk mengenakkan hati mereka,
agar menjadi pendorong bagi mereka untuk melaksanakannya. Seperti musyawarah
yang beliau lakukan dengan mereka mengenai Perang Badar, sehubungan dengan hal
mencegat iring-iringan kafilah kaum musyrik. Maka mereka mengatakan: Wahai
Rasulullah, seandainya engkau membawa kami ke lautan, niscaya kami tempuh laut
itu bersamamu; dan seandainya engkau membawa kami berjalan ke Barkil Gimad
(ujung dunia), niscaya kami mau berjalan bersamamu. Dan kami tidak akan
mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan oleh kaum Musa kepada Musa,
"Pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua,
sesungguhnya kami hanya tetap duduk di sini," melainkan kami katakan,
"Pergilah dan kami selalu bersamamu, di hadapanmu, di sebelah kananmu, dan
di sebelah kirimu dalam keadaan siap bertempur."
Nabi Saw. mengajak mereka bermusyawarah ketika hendak menentukan posisi beliau saat itu, pada akhirnya Al-Munzir ibnu Amr mengisyaratkan (mengusulkan) agar Nabi Saw. berada di hadapan kaum (pasukan kaum muslim). Nabi Saw. mengajak mereka bermusyawarah sebelum Perang Uhud, apakah beliau tetap berada di Madinah atau keluar menyambut kedatangan musuh. Maka sebagian besar dari mereka mengusulkan agar semuanya berangkat menghadapi mereka. Lalu Nabi Saw. berangkat bersama pasukannya menuju ke arah musuh-musuhnya berada.
Nabi Saw. mengajak mereka bermusyawarah dalam Perang Khandaq, apakah berdamai dengan golongan yang bersekutu dengan memberikan sepertiga dari hasil buah-buahan Madinah pada tahun itu. Usul itu ditolak oleh dua orang Sa'd, yaitu Sa'd ibnu Mu'az dan Sa'd ibnu Ubadah. Akhirnya Nabi Saw. menuruti pendapat mereka.
Nabi Saw. mengajak mereka bermusyawarah ketika hendak menentukan posisi beliau saat itu, pada akhirnya Al-Munzir ibnu Amr mengisyaratkan (mengusulkan) agar Nabi Saw. berada di hadapan kaum (pasukan kaum muslim). Nabi Saw. mengajak mereka bermusyawarah sebelum Perang Uhud, apakah beliau tetap berada di Madinah atau keluar menyambut kedatangan musuh. Maka sebagian besar dari mereka mengusulkan agar semuanya berangkat menghadapi mereka. Lalu Nabi Saw. berangkat bersama pasukannya menuju ke arah musuh-musuhnya berada.
Nabi Saw. mengajak mereka bermusyawarah dalam Perang Khandaq, apakah berdamai dengan golongan yang bersekutu dengan memberikan sepertiga dari hasil buah-buahan Madinah pada tahun itu. Usul itu ditolak oleh dua orang Sa'd, yaitu Sa'd ibnu Mu'az dan Sa'd ibnu Ubadah. Akhirnya Nabi Saw. menuruti pendapat mereka.
Nabi Saw. mengajak mereka
bermusyawarah pula dalam Perjanjian Hudaibiyah, apakah sebaiknya beliau bersama
kaum muslim menyerang orang-orang musyrik. Maka Abu Bakar As-Siddiq berkata,
"Sesungguhnya kita datang bukan untuk berperang, melainkan kita datang
untuk melakukan ibadah umrah." Kemudian Nabi Saw. memperkenankan pendapat
Abu Bakar itu. Dalam peristiwa hadisul ifki (berita bohong),
Nabi Saw. Bersabda :
«أَشِيرُوا عَلَيَّ مَعْشَرَ
الْمُسْلِمِينَ فِي قَوْمٍ أَبَنُوا أَهْلِي
وَرَمَوْهُمْ، وَايْمُ اللَّهِ مَا عَلِمْتُ عَلَى أَهْلِي مِنْ سُوءٍ
وَأَبَنُوهُمْ بِمَنْ؟ وَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ عَلَيْهِ إِلَّا خَيْرًا»
“Hai kaum muslim, kemukakanlah pendapat kalian
kepadaku tentang suatu kaum yang telah mencemarkan keluargaku dan menuduh
mereka berbuat tidak senonoh. Demi Allah, aku belum pernah melihat suatu
keburukan pun pada diri keluargaku, lalu dengan siapakah mereka berbuat tidak
senonoh. Demi Allah, tiada yang aku ketahui kecuali hanya kebaikan
belaka.”
Lalu beliau meminta pendapat kepada sahabat Ali dan sahabat Usamah tentang menceraikan Siti Aisyah r.a. Nabi Saw. bermusyawarah pula dengan mereka dalam semua peperangannya, juga dalam masalah-masalah lainnya.
Lalu beliau meminta pendapat kepada sahabat Ali dan sahabat Usamah tentang menceraikan Siti Aisyah r.a. Nabi Saw. bermusyawarah pula dengan mereka dalam semua peperangannya, juga dalam masalah-masalah lainnya.
Para ahli fiqih berbeda
pendapat mengenai masalah, apakah musyawarah bagi Nabi Saw. merupakan hal yang
wajib ataukah hanya dianjurkan (disunatkan) saja untuk mengenakkan hati mereka
(para sahabatnya)? Sebagai jawabannya ada dua pendapat.
Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya, telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far Muhammad ibnu Muhammad Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ayyub Al-Allaf di Mesir, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dan bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam urusan itu. (Ali Imran: 159) Yang dimaksud dengan mereka ialah sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar r.a kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa asar ini sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya. Hal yang sama diriwayatkan oleh Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Bakar dan Umar. Keduanya adalah penolong Rasulullah Saw. dan sebagai wazir (patih)nya serta sekaligus sebagai kedua orang tua kaum muslim.
Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya, telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far Muhammad ibnu Muhammad Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ayyub Al-Allaf di Mesir, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dan bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam urusan itu. (Ali Imran: 159) Yang dimaksud dengan mereka ialah sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar r.a kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa asar ini sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya. Hal yang sama diriwayatkan oleh Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Bakar dan Umar. Keduanya adalah penolong Rasulullah Saw. dan sebagai wazir (patih)nya serta sekaligus sebagai kedua orang tua kaum muslim.
قَدْ رَوَى الْإِمَامُ أَحْمَدُ:
حَدَّثَنَا وَكِيع، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ، عَنْ شَهْرَ بْنِ حَوْشَب، عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
غَنْم أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِأَبِي
بَكْرٍ وَعُمْرَ: "لوِ اجْتَمَعْنا فِي مَشُورَةٍ مَا خَالَفْتُكُمَا"
“Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada
kami Waki', telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid, dari Syahr ibnu
Hausyab, dari Abdur Rahman ibnu Ganam, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda
kepada Abu Bakar dan Umar : Seandainya kamu berdua berkumpul dalam suatu
musyawarah, aku tidak akan berbeda denganmu.”
Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui sahabat Ali ibnu Abu Talib yang pernah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai azam (tekad bulat). Maka beliau bersabda :
Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui sahabat Ali ibnu Abu Talib yang pernah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai azam (tekad bulat). Maka beliau bersabda :
«مُشَاوَرَةُ أَهْلِ الرَّأْيِ ثُمَّ
اتِّبَاعُهُمْ»
Meminta pendapat dari ahlur rayi, kemudian mengikuti
pendapat mereka.
قَالَ ابْنُ مَاجَهْ: حَدَّثَنَا أَبُو
بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي بُكَيْرٍ عَنْ
شَيْبَانَ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمير، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "المُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ".
“Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Bukair,
dari Sufyan, dari Abdul Malik ibnu Umair, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah,
dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Penasihat adalah orang yang dipercaya.”
Yang mana dalam Tafsir Al-Maraghi
dijelaskan bahwa musyawarah dalam Islam mengandung banyak manfaat diantaranya :
1.
Dapat diketahui kadar
akal, pemahaman, kadar kecintaan dan keikhlasan terhadap kemaslahatan umum.
2.
Kemampuan akal manusia
itu bertingkat-tingkat dan jalan pikirannya berbeda-beda. Sebab, kemungkinan
ada diantara mereka mempunyai suatu kelebihan yang tidak dimiliki orang lain.
3.
Semua pendapat di
musyawarah diuji kemampuannya, setelah itu dipilih pendapat yang paling baik.
4.
Di dalam musyawarah, akan
tampak bersatunya hati untuk menyukseskan suatu upaya dan kesepakatan hati
Firman Allah Swt.:
فَإِذا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى
اللَّهِ
“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakallah kepada Allah.” (Ali
Imran: 159)
Menurut Tafsir Ibnu Katsir
mengenai penggalan ayat di atas, yakni apabila engkau bermusyawarah dengan
mereka dalam urusan itu, dan kamu telah membulatkan tekadmu, hendaklah kamu
bertawakal kepada Allah dalam urusan itu.
{إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُتَوَكِّلِينَ}
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakal kepada-Nya.” (Ali
Imran: 159)
Sedangkan dalam Tafsir Jalalain,
(Kemudian apabila kamu telah berketetapan hati) untuk melaksanakan apa yang
kamu kehendaki setelah bermusyawarah itu (maka bertawakallah kepada Allah)
artinya percayalah kepada-Nya. (Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakal) kepada-Nya. Maksudnya mereka tetap berjuang dan berjihad di jalan
Allah dengan tekad yang bulat tanpa menghiraukan bahaya dan kesulitan yang
mereka hadapi. Mereka bertawakal
sepenuhnya kepada Allah, karena tidak ada yang dapat membela kaum Muslimin
selain Allah.
BAB III
PENUTUP
Pesan Moral
Yang dapat diambil mengenai sifat
para Rasul dalam memimpin umat, pada sifat Nabi Ibrahim AS. beliau seorang
pemimpin pencari dan penegak kebenaran, rela berkorban, bermusyawarah, idealisme
yang tak kunjung padam dan pemimpin seluruh manusia. Selain itu pada sifat Nabi
Isa AS. beliau seorang pemimpin yang selalu mengajak kebenaran dan senang
tolong menolong.
Selain sifat para Rasul diatas,
dijelaskan pula pada QS. Ali-Imran ayat 159, mengenai sifat Rasulullah SAW. dalam
memimpin umatnya, bahwa seorang pemimpin harus bersikap lemah lembut dan tidak
bersikap keras ataupun berhati keras, karena sifat seperti itu hanya bisa
menjadikan umat terpecah belah dan menjauh dari kita, serta harus memiliki
sifat pemaaf, dengan memaafkan kesalahan yang di buat oleh umat, serta memohon
ampunan dari Allah untuk mereka dan melakukan musyawarah untuk menentukan suatu
keputusan.
Rasulullah mengajarkan kepada umat
Islam agar senantiasa melakukan musyawarah dalam memutuskan sesuatu. Sebab,
manusia hidup mempunyai keinginan masing-masing, sehingga perlu adanya titik
temu lewat musyawarah. Dalam persoalan dunia, Rasulullah senantiasa melakukan musyawarah
dalam menyelesaikannya. Beliau selalu terbuka terhadap segala masukan dari para
sahabatnya. Misalnya, perihal tahanan perang, persolan strategi perang dan
masalah-masalah sosial lainnya.
Berbeda dengan persoalan ibadah.
Dalam hal ini, Rasulullah berlandaskan wahyu dari Allah SWT. Jika Allah SWT
belum menurunkan wahyunya, maka Rasulullah tidak akan berani memutuskan. Mengacu
pada kandungan Surah Ali Imran ayat 159, etika dalam bermusyawarah dapat
dikategorikan sebagai berikut :
Pertama, bersikap lapang dada. Sikap
lapang dada merupakan kunci dalam bermusyawarah. Dengan sikap lapang dada akan
menghantarkan seseorang mampu berpikir logis dan bijaksana. Sehingga,
keputusan-keputusan yang dihasilkan akan tepat. Cerminan orang yang memiliki
sikap lapang dada, ia akan menerima segala keputusan musyawarah dengan ikhlas
meskipun pendapat pribadinya tidak disetujui peserta musyawarah.
Kedua, bersikap saling memaafkan.
Ketika bermusyawarah, sikap saling menerima harus dikedepankan oleh semua
pihak. Namun, perbedaan pendapat tersebut seyogyanya hanya dalam ruangan
musyawarah saja, tidak sampai dibawa ke ranah permusuhan. Surat Ali Imran ayat
159 secara tegas mengingatkan agar saling memamaafkan (fa'fu 'anhun).
Artinya, perselisihan pendapat tidak boleh dijadikan faktor terputusnya
silaturahim.
Ketiga, bersikap terbuka. Musyawarah
bukanlah ajang untuk mencari siapa yang menang, melainkan untuk mencari solusi
yang bisa diterima semua pihak. Dalam musyawarah, semua mempunyai hak yang sama
untuk berpendapat. Kalau pendapat yang kita usulkan ditolak oleh peserta lain,
maka sikap kita harus menerima. Kita harus berpikiran terbuka bahwa pendapat
kita kemungkinan bukan yang terbaik untuk semua orang.
Keempat adalah tawakal kepada Allah
SWT. Setelah melalui tahap ikhtiar dengan melakukan musyawarah, hendaknya
seorang muslim bertawakal kepada Allah SWT. Hal itu dianjurkan agar kita
senantiasa diberi kekuatan dalam menjalankan hasil keputusan musyawarah dengan
konsisten dan tanggung jawab.
DAFTAR PUSTAKA
AlFawwaz, M. L. (2014,
Juli 27). Islami. Retrieved from abizgendutz.blogspot.com:
https://abizgendutz.blogspot.com/2014/07/meneladani-perilaku-nabi-isa-a.html
Baits, U. A. (2014, April 4). Bagaimana Kriteria
Pemimpin yang Baik dalam Islam. Retrieved from Konsultasi Syari'ah:
https://konsultasisyariah.com/22219-bagaimana-kriteria-pemimpin-yang-baik-dalam-islam.html
Muhammad As-Suwaidin, T. d. (2005). Melahirkan Pemimpin
Masa Depan. Jakarta: Gema Insani.
Mushthafa Al-Maraghy, A. (1987). Tafsir Al-Marahghy.
Semarang: Penerbit Tohaputra Semarang.
Tafsir Ibnu Katsir. (n.d.). Retrieved from
http://www.ibnukatsironline.com
Tafsir Web. (n.d.). Retrieved from
https://tafsirweb.com